Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PP Postelsiar Dinilai Bentuk Keberpihakan Pada Operator Telekomunikasi

Terbitnya PP 46/2021 tentang Postelsiar dianggap lebih adil karena mengatur kerja sama antara penyelenggara layanan over the top (OTT) dengan operator telekomunikasi di Indonesia.
Teknisi memasang prangkat base transceiver station (BTS) disalah satu tower di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (18/3/2020).
Teknisi memasang prangkat base transceiver station (BTS) disalah satu tower di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (18/3/2020).

Bisnis.com, JAKARTA- Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 46/2021 tentang Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran atau Postelsiar dinilai merupakan sebuah langkah maju.

Adapun Pasal 15 ayat 1 berbunyi, "Pelaku usaha baik nasional maupun asing yang menjalankan kegiatan usaha melalui internet kepada pengguna di wilayah Indonesia melakukan kerja sama usaha dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi."

Pengamat hukum telekomunikasi dari Pusat Informasi Hukum Indonesia (PIHI), Johny Siswandi menilai PP 46/2021 tentang Postelsiar khususnya Pasal 15 sudah bagus karena mengatur kerja sama antara penyelenggara layanan over the top (OTT) dengan operator telekomunikasi di Indonesia.

Menurutnya, jika merujuk Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata, kesepakatan antar pihak itu bisa dilakukan secara tertulis maupun tak tertulis. Kesepakatan tertulis atau tak tertulis itu sah. Dalam konteks OTT, layanan mereka tak akan dapat diakses oleh masyarakat jika tidak terhubung dengan jaringan telekomunikasi.

"Kalau operator telekomunikasi membuka akses ke OTT itu menunjukkan antara OTT dan perusahaan telekomunikasi telah terdapat kerja sama," ujarnya Kamis (25/2/2021).

Dia mengatakan, Pasal 15 ayat 1 dalam PP Postelsiar jika dikaitkan dengan logika KUH Perdata menggenai perjanjian, menunjukkan adanya kewajiban kerja sama tertulis antara OTT dan operator telekomunikasi. Dalam logika hukum, tuturnya, kerja sama antara OTT dan Telco sekarang adalah kerja sama tidak tertulis sehingga ketika OTT bisa mengakses jaringan telekomunikasi dianggap merupakan bentuk kerja sama.

“Aspek pengaturan yang ingin diperkuat oleh Pemerintah adalah dari sisi kerja samanya. Pemerintah mengatur kerja sama antara OTT dan Telco sehingga bersifat adil, wajar, dan non-diskriminatif. Kerja sama tersebut ditujukan untuk menjaga kualitas layanan.”tegas Komisioner BRTI periode 2018-2020 itu.

Lebih lanjut, untuk memenuhi prinsip adil, wajar, dan non-diskriminatif, kerja sama antara penyelenggara OTT dan penyelenggara telekomunikasi harus diformalkan secara tertulis. Adanya perjanjian formal diharapkan akan memberikan kejelasan hak dan kewajiban bagi para pihak.

Kerja sama tersebut kata dia, wajib memberikan manfaat kepada para pihak sehingga akan menjadi tidak adil jika porsi terbesar keuntungan didapatkan oleh penyelenggara OTT. Padahal porsi terbesar dari biaya dibebankan kepada penyelenggara telekomunikasi. Tidak wajar juga jika pangsa pasar pelanggan yang ingin disasar ada di wilayah Indonesia namun konten dan layanan yang akan diakses berada di luar negeri.

"Akibatnya belanja bandwidth internasional Indonesia menjadi besar. Devisa kita terkuras di sana. Sehingga aspek non-diskriminatif juga harus ditegakan. Baik penyelenggara OTT dan penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan tindakan diskriminatif," ulasnya.

Kerja sama ini, paparnya, berlaku bagi semua penyelenggara OTT, selain yang diatur pengecualiannya oleh PP Postelsiar. PP Postelsiar juga mengatur kriteria penyelenggara OTT mana saja yang diwajibkan bekerja sama.

Sementara itu, dari sisi kegiatan usaha, penyelenggara OTT yang diwajibkan kerja sama adalah yang layanannya menjadi subtitusi layanan telekomunikasi, platform konten layanan audio dan/atau visual, dan/atau layanan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.

Penyelenggara OTT tersebut baru dikenakan kewajiban kerja sama apabila telah memenuhi ketentuan kehadiran signifikan berdasarkan persentase trafik, jumlah pengguna harian aktif di Indonesia, dan/atau kriteria lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.

Dia menilai PP Postelsiar juga dengan tegas mengatur pengecualian kewajiban kerja sama tersebut yaitu pelaku usaha yang merupakan pemilik dan/atau pengguna akun pada kanal media sosial, kanal platform konten, kanal marketplace, dan jenis kanal lainnya.

"Nantinya jika ada OTT yang tak mau ditata, operator telekomunikasi dapat melakukan penggelolaan bandwidth sesuai perundang-undangan yang berlaku. Posisi operator akan kuat untuk mengatur bandwidth sesuai pasal 15 ayat 2 dan 3 PP Postelsiar," katanya.

Menurut dia, pasal 15 ini setidaknya dapat mengurangi beban operator telekomunikasi dalam memenuhui kebutuhan bandwidth yang besar dari OTT asing. Padahal bandwidth internasional itu dia nilai mahal.

"Ini salah satu wujud keberpihakkan Pemerintah kepada operator telekomunikasi Indonesia," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper