Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Unrealized Loss BP Jamsostek: Risiko Investasi atau Korupsi?

Sebagian pengamat menyatakan bahwa unrealized loss investasi BP Jamsostek adalah risiko investasi dan bukanlah suatu tindak pidana. Namun fakta di pengadilan, dalam kasus Jiwasraya, unrealized loss investasi terbukti sebagai suatu tindak pidana korupsi.
Pegawai melintasi logo BPJS Ketenagakerjaan di Kantor Cabang BP Jamsostek di Menara Jamsostek, Jakarta, Jumat (10/7/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Pegawai melintasi logo BPJS Ketenagakerjaan di Kantor Cabang BP Jamsostek di Menara Jamsostek, Jakarta, Jumat (10/7/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah menyidik dugaan korupsi 'bancakan' dana investasi milik BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek. 

Munculnya kasus dugaan korupsi itu bermula dari temuan unrealized loss investasi BPJS Ketenagakerjaan yang nilainya mencapai Rp43 triliun (angka per September 2020).

Sebagian pengamat menyatakan bahwa unrealized loss investasi BP Jamsostek bukanlah suatu tindak pidana. Alasannya, saat ini investasi dalam bentuk portofolio saham maupun reksadana sedang turun, terpengaruh pandemi Covid-19.

Namun sebagian lainnya, menganggap unrealized loss investasi BPJS TK bisa menjadi tindak pidana. Apalagi, jika melihat dua perkara tindak pidana sejenis yakni korupsi Jiwasraya dan Asabri, yang sama-sama bermula dari kasus kerugian akibat unrealized loss investasi.

Di dalam lingkup peradilan, memang sempat ada perdebatan, apakah unrealized loss investasi masuk dalam cakupan kerugian negara seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang (UU) No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi alias Tipikor atau hanya semata-mata risiko investasi. 

Dalam kasus Jiwasraya, misalnya, pihak terdakwa Heru Hidayat sempat mempersoalkan kaitan antara unrealized loss dengan tindak pidana korupsi. Alasan Heru Hidayat, unrealized loss bukanlah suatu tindak pidana, karena "kerugian negara" seharusnya dimaknai sebagai kerugian yang benar-benar sudah teralisasi. Sedangkan unrealized, bentuk kerugian tersebut belum terjadi. Baru potensi.

Apalagi putusan Mahkamah Konstitusi No.25/PUU/2016, terutama bagian pertimbangan mengenai kerugian negara, menyatakan bahwa kerugian negara harus benar-benar sudah terjadi alias nyata.

Lalu bagaimana dengan unrealized loss, apakah hal itu bisa dikategorikan sebagai kerugian negara?

Hakim pengadilan tindak pidana korupsi, nyatanya tetap berpandangan bahwa tindakan yang dilakukan Benny Tjokrosaputro, Heru Hidayat, beserta direksi Jiwasraya sebagai tindak pidana korupsi. 

Mereka telah divonis seumur hidup, berdasarkan dakwaan pertama dari Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

Selain itu mereka juga terbukti melakukan pencucian uang sebagaimana diatur pada pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Putusan itu mau tak mau telah menjadi yurisprudensi dan akan menjadi acuan para hakim di lembaga peradilan untuk memutuskan kasus-kasus sejenisnya. Termasuk dalam hal perkara dugaan korupsi dana investasi BP Jamsostek, seandainya kasus ini sampai ke penuntutan.

Duduk Perkara 

Dalam konteks penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung, kasus BP Jamsostek, tak ubahnya dengan kasus Jiwasraya atau kasus-kasus lainnya. Kuat dugaan, praktik itu tidak ada sangkut pautnya dengan tren kinerja pasar modal yang kembang kempis karena pandemi Covid-19.

Informasi yang dihimpun Bisnis baik di BPJS Ketenagakerjaan maupun di aparat penegak hukum, telah membenarkan kalau kasus unrealized loss investasi di BP Jamsostek tidak hanya terjadi selama pandemi. 

Bahkan jauh sebelum pandemi, kasus investasi BPJS Ketenagakerjaan sudah menjadi sorotan. 

Dalam catatan Bisnis, BPK sebenarnya pernah melakukan dua kali audit terhadap BP Jamsostek dalam bentuk audit dengan tujuan tertentu (PDTT) maupun audit kinerja.

Audit dengan tujuan tertentu atau PDTT BPK bahkan telah secara gamblang membeberkan risiko investasi saham milik BP Jamsostek.

LHP BPK itu menyampaikan bahwa BP Jamsostek belum sepenuhnya melaksanakan analisis terkait penundaan kebijakan cut loss atas 12 saham yang mengalami penurunan nilai perolehan melebihi batas toleransi minimum.

Padahal, waktu itu nilai 12 saham tersebut terus menerus mengalami penurunan dan mempengaruhi laporan keuangan BP Jamsostek. Sebagai perbandingan, kerugian yang belum terealisasi (unrealized loss) pada tahun 2016 dan 2017 masing-masing sebesar Rp801,2 miliar dan Rp1,33 triliun.

Artinya, unrealized loss pada akhir tahun 2017 meningkat sebesar Rp529,7 miliar atau 66,12 persen dari posisi pada akhir tahun 2016.

BPK waktu itu berpandangan kondisi itu setidaknya menimbulkan dua risiko bagi neraca keuangan BPJS Ketenagakerjaan. 

Pertama, pihak BPJS akan kelihangan kesempatan untuk menghindari kerugian yang lebih besar pada saat harga saham yang mengalami penurunan nilai perolehan berada di atas target price yang ditetapkan.

Kedua, pihak BP Jamsostek berpotensi mengalami kerugian yang lebih besar jika saham-saham yang mengalami penurunan nilai perolehan tersebut ter-delisting dari bursa efek. 

Dan benar saja, tiga tahun berselang, dalam dalam kasus yang sekarang sedang ramai dibicarakan, penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah menelisik adanya dugaan tindakan korupsi dari unrealized loss investasi yang nilainya mencapai Rp43 triliun.

Meskipun kabar terbaru, nilai unrealized loss BP Jamsostek per akhir Desember 2021 telah mengecil menjadi Rp24 triliun, bahkan sudah di kisaran belasan triliun.

"Fokus penyelidikan kita ada di Rp43 triliun dari total Rp400 triliun itu," tutur Direktur Penyidikan Kejagung, Febrie Adriansyah, kepada Bisnis, akhir Januari lalu.

Kejaksaan juga terus menelisik informasi dari perusahaan sekuritas maupun manajer investasi (MI) terkait seluk beluk transaksi investasi BPJS Ketenagakerjaan alias BP Jamsostek. Informasi yang dihimpun Bisnis, ada sekitar 20 manajer investasi yang diduga ikut kecipratan dana investasi BP Jamsostek.

Penyidik, kata Febrie, juga telah meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung satu persatu transaksi investasi milik BP Jamsostek.

BPK Buka Suara 

Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyerahkan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas investasi BPJS Ketenagakerjaan ke penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) tahun 2017 - 2020.

Hal itu diungkapkan oleh Anggota III BPK Achsanul Qosasi saat dikonfirmasi seputar perkembangan pemeriksaan laporan keuangan milik BPJS Ketenagakerjaan.

"Laporan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atas investasi dan biaya selama 2017-2020 telah kami sampaikan kepada BPJS TK dan juga sudah disampaikan kepad Kejaksaan Agung," kata Achsanul kepada Bisnis.

Achsanul memaparkan bahwa penyerahan laporan hasil pemeriksaan PDTT atas investasi BPJS Ketenagakerjaan disampaikan pada akhir pekan lalu. Kendati demikian, Achsanul tak memberikan rincian detil audit tersebut.

Menurutnya, sesuai ketentuan, sebelum dibuka ke publik, audit tersebut harus disampaikan kepada DPR terlebih dahulu.

"Kalau penyidik kami sudah kasih hari Jumat lalu, karena mereka meminta via surat resmi. Sehingga kewajiban BPK untuk menyampaikannya," jelasnya.

Adapun Penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) tinggal menunggu hasil pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tuntuk menelisik dugaan tindak pidana korupsi di BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK). 

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung, Febrie Adriansyah, mengatakan tim penyidik Kejagung sudah bekerja sama dengan BPK untuk mendalami total nilai kerugian negara dalam perkara tersebut.

"Kami hanya tinggal menunggu total kerugian negara saja dari BPK," katanya.

Adapun Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BP Jamsostek, Irvansyah Utoh Banja, angka bicara, dia mengatakan bahwa dengan kondisi likuiditas BP Jamsostek yang sangat baik, aset investasi yang mengalami unrealized loss tersebut tidak perlu dijual, sehingga tidak pernah membukukan kerugian.

Saham yang mengalami Unrealized Loss saat ini, dipastikan merupakan saham-saham berfundamental baik dan mayoritas LQ45, sehingga diharapkan akan pulih seiring pemulihan harga pasar. 

Selain itu, Utoh mengklaim, instrumen yang dikelola BP Jamsostek masih membukukan realisasi keuntungan dan ditambah dengan keuntungan instrumen lain berdampak pada dana kelolaan per 31 Desember 2020 telah mencapai Rp486,38 triliun dengan total hasil investasi mencapai Rp32,30 Triliun.

Hasil pengembangan JHT Tahun 2020 juga diatas rata-rata bunga deposito Bank Pemerintah, yaitu mencapai 5,63 persen. " Kami berharap masyarakat khususnya peserta tidak terpengaruh pada isu-isu negatif yang muncul terkait pengelolaan dana. Kami akan selalu memberikan pelayanan terbaik bagi peserta dan memastikan dana peserta aman dan optimal di bawah pengelolaan kami," tukasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper