Bisnis.com, JAKARTA - Sepekan menjelang berakhirnya periode pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada 20 Januari mendatang, dinamika politik di negara Paman Sam kian memanas.
Apa lagi kalau bukan penyerbuan Gedung Capitol AS oleh ratusan pendukung Presiden Donald Trump pada Rabu (6/1/2021) lalu yang membuat dinamika politik negara itu panas. Bahkan, sulit untuk ditebak. Insiden berdarah pekan lalu itu telah menelan lima korban tewas, termasuk di antaranya aparat kepolisian.
Tak heran kalau kepemimpinan Trump menjadi sorotan publik, setelah para pendukung setianya masuk dan mengacak-acak ruang parlemen. Sebagaimana tudingan yang berkali-kali dilemparkan Trump soal kecurangan pemilu, mereka juga meyakini hal yang sama, sehingga melampiaskan kemarahan dengan berupaya menggagalkan pengesahan kemenangan Joe Biden oleh Kongres pada hari itu.
Karena itulah negara yang selama ini diklaim sebagai kiblat demokrasi era sejarah modern tersebuy, kini akhirnya berubah menjadi sangat tidak demokratis. Para pendukung Trump tidak terima kekalahan Trump, meski pemilu telah digelar secara demokratis konstitusional dan dimenangkan Joe Biden.
Suasan kian panas ketika Trump yang selalu mengklaim telah memenangkan pemilihan presiden pada 3 November lalu, tidak mampu membuktikan hal tersebut. Satu pun klaim presiden dari Partai Republik itu tidak terbukti, bahkan sampai ke tingkat pengadilan pemilu sekalipun.