Bisnis.com, JAKARTA – Saat menjabat sebagai pelatih Liverpool, Bill Shankly pernah melontarkan ucapan yang terkenal dan bernada agak ‘politis’.
“Ada orang yang percaya bahwa sepakbola adalah perkara hidup dan mati. Saya justru akan lebih meyakinkan Anda bahwa sepakbola jauh lebih penting dari sekadar soal hidup atau mati,” ujarnya suatu ketika.
Pernyataan pria asal Skotlandia itu mungkin ada benarnya, karena sepakbola ternyata memang ‘jauh lebih penting’ dari agenda prioritas sebuah bangsa di sebuah zaman.
Coba kita tengok saja Pantai Gading, sebuah negara di kawasan Afrika Barat. Negara ini sudah sejak dulu terkenal sebagai penghasil kakao. Sialnya, aroma kakao ini tersapu oleh gejolak politik dan keamanan dalam negeri.
Konflik berkepanjangan seolah sudah identik dengan Pantai Gading. Tak lama setelah kudeta 2002, negara itu praktis terbelah dua. Bagian selatan yang pro pemerintah dan utara yang ‘memberontak’.
Lantaran gonjang-ganjing politik yang menahun, rakyat pun menjadi korban perang sipil. Bahkan setelah konflik mereda, saling curiga antarwarga di kedua pihak nampaknya tetap sulit dihapuskan sama sekali.
Konflik tersebut menjadikan perjalanan melintasi seluruh wilayah negara dari selatan sampai utara menjadi mustahil. Namun ada seorang yang membantu mengubahnya!
Didier Drogba, bintang sepakbola internasional asal Pantai Gading, bertekad menyatukan kembali negerinya yang terpecah belah. Dia ingin menjadikan sepakbola sebagai unsur pemersatu.
Selain sempat merumput bersama Chelsea di Inggris, Drogba adalah kapten tim nasional negaranya yang berjuluk Sang Gajah (The Elephants).
Dia selalu menekankan agar para pemain timnas negeri itu mewakili wajah kebangsaan, yaitu terdiri atas berbagai kelompok suku yang ada. Harapan itu berhasil diwujudkan.
Ketika timnas yang multietnis itu lolos prakualifikasi Piala Dunia 2006, seluruh rakyat Pantai Gading kompak meluapkan kegembiraannya.
Pada 2007 Drogba maju selangkah lagi melalui gerakan yang sederhana tetapi revolusioner dan sekaligus visioner.
Dia mengumumkan bahwa laga kualifikasi Piala Afrika akan digelar di Bouake, ibu kota pemberontak di bagian utara yang tidak terjamah pasukan pemerintah sekalipun sudah tercapai perjanjian damai pada Maret 2007.
“Tanggal 3 Juni akan menjadi hari yang sangat dikenang. Hari itu akan menjadi hari kemenangan bagi persepakbolaan Pantai Gading. Hari kemenangan seluruh rakyat Pantai Gading. Dan bisa dipastikan di sana akan ada perdamaian,” ujar Drogba (Steve Crawshaw dan John Jackson, 2010).
Rakyat Pantai Gading, yang selama lima tahun tidak mampu mendamaikan berbagai perbedaan di antara mereka, saat itu bergandengan tangan untuk berduyun-duyun menonton pertandingan sepakbola.
Timnas negara itu dengan sukses menekuk Madagaskar dengan skor 5—0. Pertandingan itu semakin dikenang karena gol kelima diceploskan oleh Drogba sendiri pada menit-menit terakhir.
Alhasil, suatu rangkaian perayaan kemenangan pun membahana di seluruh penjuru negeri. Austin Merrill, koresponden Associated Press yang saat itu juga menonton di stadion, tak dapat menyembunyikan kekagumannya.
“Anda tidak perlu bersusah payah untuk menyaksikan bahwa apa yang terjadi saat itu lebih dari sekadar suatu pertandingan sepakbola. Permainan indah telah mempersatukan kembali seluruh negeri,” ujarnya.
Insan sepakbola negeri itu juga hampir tidak percaya pada ‘proyek’ yang diusung Drogba tersebut. Kemenangan timnas itu dipandang tidak hanya sekadar memproduksi gol dan mengalahkan lawan.
“Kami, rakyat Pantai Gading, sudah memendam luka dalam dan penyakit ini sekian lama. Tetapi kami tidak menemukan cara untuk mengobatinya. Juga tidak dapat disembuhkan oleh siapapun juga selama ini. Hanya Drogba yang bisa,” kata Christophe Diecket, seorang pejabat federasi sepakbola negara itu.
Tak salah bila sebuah media nasional setempat yang berpengaruh memberitakannya di halaman muka dengan menyebutnya ‘Lima Gol Menghapus Lima Tahun Perang’.