Bisnis.com, JAKARTA - Tren kasus Covid-19 menunjukkan kondisi yang belum aman. Sewaktu-waktu masih bisa terjadi ledakan penularan kasus di Indonesia.
Perekayasa model simulasi prediksi dampak normal baru dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menilai penularan COVID-19 yang terjadi di Indonesia masih belum masuk kategori aman.
Meskipun data menunjukkan proses penyembuhan pasien lebih cepat dibandingkan awal pandemi.
Perekayasa utama dari model simulasi prediksi dampak normal baru dari BPPT Sri Handoyo Mukti mengatakan di Jakarta, Kamis, tren penularan Covid-19 di Indonesia sewaktu-waktu masih bisa meledak.
Sri Handoyo menjelaskan tren kasus baru Covid-19 menunjukkan masih terjadinya penularan di lapangan dan potensi penularan ke lebih banyak orang karena melihat jumlah populasi Indonesia.
Kendati demikian dia menerangkan bahwa data waktu perawatan pasien di rumah sakit untuk proses penyembuhannya menjadi lebih singkat.
"Pada awal-awal pandemi itu penyembuhan dalam 100 hari, sekarang ini sekitar dua hingga tiga pekan," kata dia.
Selain itu Sri Handoyo mengungkap sebanyak 80 persen dari seluruh kasus positif Covid-19 di Indonesia merupakan kasus tanpa gejala.
Sementara 20 persen kasus terjadi pada orang dengan gejala ringan, sedang, hingga berat.
Dari 20 persen kasus positif yang terkonfirmasi tersebut, 18 persen di antaranya membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit.
Sri Handoyo menerangkan saat ini fasilitas kesehatan masih dapat menangani pasien Covid-19 yang membutuhkan perawatan.
Namun idealnya rumah sakit menyediakan 50 persen tempat tidur kosong untuk antisipasi apabila terjadi lonjakan kasus di Indonesia.
Menurut Sri Handoyo fasilitas kesehatan saat ini tidak memiliki kendala dalam menangani pasien Covid-19 dibandingkan awal-awal terjadinya pandemi.
Sri Handoyo menjabarkan bahwa pola penularan virus pada awal pandemi hingga memasuki transisi normal baru saat ini masih sama.
Namun, dia menekankan, pola penularan kasus bisa berubah bergantung dari intervensi dan juga pola hidup maupun mobilitas masyarakat.
Pembatasan kontak fisik pada masa PSBB, menurut Sri Handoyo, sebetulnya mampu menurunkan puncak kasus harian.
Namun kebijakan PSBB tersebut berimplikasi pada masalah lain yaitu dampak ekonomi sosial sehingga terjadi tekanan ekonomi.
"Kalau pertumbuhan ekonomi terdampak, permasalahannya akan merembet ke masalah sosial, politik, budaya, pertahanan, dan keamanan," kata dia.