Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pandemi Covid-19 : Teknologi dan Menghindari Kutukan 'Jin Kampus'

Saran saya untuk mahasiswa semester akhir, manfaatkan situasi corona ini untuk menuntaskan skripsi atau tesis
Pandemi Covid-19 membuat kegiatan masyarakat berubah, demikian halnya dalam pendidikan./Istimewa
Pandemi Covid-19 membuat kegiatan masyarakat berubah, demikian halnya dalam pendidikan./Istimewa

Kabar24.com, JAKARTA — Tak sedikit kenalannya mengira Sholahuddin Al Ayyubi, 30, berdarah Arab setelah mendengar nama dan melihat perawakannya. Namun, tanpa faktor pertalian darah, pria kelahiran Jakarta itu memang punya rasa ingin tahu cukup tinggi terhadap etnis asal Timur Tengah tersebut.

Buktinya, ketika tiba waktu menyusun tesis di Program Studi Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Sholahuddin memilih topik tentang persaingan dagang etnis Arab dengan Tionghoa di Batavia pada abad XIX. Saat menempuh studi sarjana di kampus yang sama, dia menulis skripsi tentang peradaban Mesir.

Topik tesis itu secara resmi diusulkan oleh Sholahuddin pada semester V, tepatnya sejak awal November 2019. Terhitung telat karena untuk ukuran studi jenjang magister, tesis seharusnya dituntaskan pada semester III atau IV.

Sholahuddin pun giat mengerjakan penelitian selama 3 bulan berturut-turut. Penelusuran literatur, terutama arsip-arsip era penjajahan berbahasa Belanda, harus ditempuh untuk membuktikan hipotesis penelitiannya.

“Bahasa Belanda-nya juga bahasa Belanda zaman kolonial, agak beda. Jadi lebih sulit menerjemahkan,” kata Sholahuddin kepada Bisnis.com, Senin (1/6/2020).

Waktu 3 bulan cukup bagi Sholahuddin untuk mengumpulkan studi pustaka. Tahap selanjutnya adalah penulisan draf tesis yang dijadwalkan selama 3 bulan, dimulai pada Februari 2020.

Tatkala sedang asyik-asyiknya menggarap penulisan, pemerintah mengumumkan dua orang warga Indonesia positif virus corona pada 2 Maret.

Sholahuddin langsung membayangkan skenario terburuk. Berkaca dari negara lain semisal China yang menghentikan aktivitas warga, bukan tidak mungkin langkah serupa diadopsi pemerintah Indonesia.

Benarlah dugaan Sholahuddin. Meski belum ada kebijakan lockdown dan sejenisnya, kampus UIN Syarif Hidayatullah menutup kampus per 19 Maret. Pembatasan semakin ketat ketika Kota Tangerang Selatan, lokasi perguruan tinggi itu, menetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Sudah pasti, kegiatan pembimbingan tesis secara normal urung terlaksana. Manajemen kampus lantas mengharuskan pembimbingan dilakukan via aplikasi pesan instan.

Tahap pembimbingan bisa dilalui Sholahuddin dengan mulus. Nah, tiba gilirannya tahap ujian. Di UIN Syarif Hidayatullah, mahasiswa S-2 harus mengikuti empat ujian setelah draf tesis tersusun. Keempat tahap itu adalah ujian work in progress (WIP), ujian komprehensif, ujian pendahuluan tesis secara tertutup, dan terakhir ujian tesis secara terbuka.

Sholahuddin diberitahu bahwa keempat ujian berformat sidang itu dilakukan pada Mei, masing-masing berjarak seminggu. Lantaran penutupan kampus belum dicabut, sidang konvensional tidak bisa digelar.

Alternatif sidangnya serupa dengan orang di belahan dunia lain yakni via telekonferensi video. Kendati sidang virtual tak biasa bagi para pihak—mahasiswa, pembimbing, penguji—bukan berarti formalitas hilang. Dari rumahnya, Sholahuddin memakai kemeja dilengkapi peci di kepala.

Meski tidak dalam satu ruangan yang sama, dosen pembimbing dan penguji tetap kompak untuk mem-pressure sang penulis tesis. Pada setiap tahapan sidang, Sholahuddin terpaksa merevisi judul hingga materi tesisnya.

Aturan menyebutkan bahwa ujian kedua tidak bisa digelar tanpa revisi hasil ujian pertama, begitu seterusnya.

Bila ujian kedua molor, otomatis jadwal ujian ketiga dan keempat ikut tergeser. Konsekuensinya bila mundur melebihi kalender semester, tesis dianggap belum selesai dan harus dilanjutkan pada semester berikutnya.

Di fase sinilah Sholahuddin kecipratan berkah pandemi Covid-19. Ketika penguji dan pembimbing meminta revisi dengan tambahan studi literatur anyar, sumber ilmiah itu tersedia dengan mudah di depan mata.

Sejumlah penyedia jurnal akademis membuka akses artikel ilmiah secara gratis! Tinggal mengklik artikel yang dibutuhkan maka materi segera dapat dipindahkan ke dalam naskah tesis. Tidak perlu misalnya harus ke luar kota yang memakan waktu dan biaya—lagi pula lalu lintas antarprovinsi sedang ditutup.

“Kalau tak ada corona saya harus bayar, jadi anggota situs jurnal, atau bahkan ke lokasi penerbit jurnal,” kata Sholahuddin.

Sudah diuntungkan dengan akses literatur, Sholahuddin senang pula dengan pelaksanaan sidang di dunia maya. Dia mengaku lebih siap secara psikologis.

Tidak ada rasa terintimidasi berlebihan karena masing-masing peserta sidang tidak berdekatan secara fisik. Lain cerita jika metode tatap muka yang membuat mahasiswa sendirian di hadapan jajaran dosen.

Ketika sidang terbuka pada 20 Mei, misalnya, Sholahuddin diuji oleh dua dosen, Jajat Burhanuddin dan Awalia Rahma. Ketua Program Studi Magister Amelia Fauzia dan sekretarisnya, Mukmin Suprayogi, turut mempeloloti sekaligus nimbrung untuk melontarkan pernyataan.

“Dosen-dosennya profesor, dikenal killer,” kata Sholahuddin lantas tertawa.

Pada sidang terakhir, ayah satu anak ini dengan mantap membuktikan bahwa memang terdapat kompetisi bisnis antara etnis Arab dan Tionghoa di Jakarta tempo dulu.

Sebelum sidang berakhir, dosen pembimbing memberikan nilai 90 (dari skala 0-100) untuk tesis berjudul Kompetisi Dagang Orang Tionghoa dan Orang Arab di Batavia Abad XIX: Suatu Kajian Sejarah Ekonomi.

Pekerjaan Sholahuddin masih belum selesai karena revisi tesis dari sidang terakhir harus diserahkan pada 5 Juni. Karya akademis tersebut juga wajib dipublikasi di jurnal dan dibukukan oleh penerbit. Bila terbit, buku itu menjadi buku ketujuh Sholahuddin.

“Saran saya untuk mahasiswa semester akhir, manfaatkan situasi corona ini untuk menuntaskan skripsi atau tesis. Kalau enggak begitu, kapan lagi bisa selesai? Mau jadi jin kampus?” katanya merujuk label di UIN Syarif Hidayatullah untuk mahasiswa yang studinya molor.

SETELAH PANDEMI

Anak muda seperti Sholahuddin, layaknya kalangan milenial segenerasinya, dianggap lebih mudah beradaptasi dengan metode daring. Namun, bukan berarti dosen senior sulit menyesuaikan diri.

Salah satunya adalah Imam Ghozali, Ketua Program Doktor Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro (FEB Undip). Pada 19 Mei, Imam mengikuti telekonferensi video sidang terbuka promosi doktor mantan Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Maryono.

Imam bertindak sebagai promotor sang promovendus. Dalam sidang virtual, ada juga para tamu seperti sidang terbuka biasanya.

FEB Undip mulai memberlakukan telekonferensi video untuk ujian skripsi, tesis, dan disertasi pada 21 Maret sampai akhir semester. Menurut Imam, sebelum Maryono sudah beberapa kali sidang promosi doktor virtual digelar kampusnya menyikapi pandemi COVID-19.

Sebagai dosen berpengalaman, Imam tidak merasakan beda sidang terbuka konvensional maupun virtual. Unsur ketegangan, kata Guru Besar Ilmu Akuntansi ini, tidak terlihat pada diri sang promovendus.

Sebelum sidang terbuka, mahasiswa doktoral sudah pasti lulus dari sidang tertutup. Karena itu, kata Imam, rasa tegang biasanya menghinggapi promovendus pada sidang tertutup. Pada tahap itulah, lulus tidaknya mahasiswa ditentukan.

“Kalau ujian promosi hanya untuk mendapatkan predikat lulus memuaskan, sangat memuaskan, atau cum laude,” kata Imam kepada Bisnis.com, pekan lalu.

Pada masa pendemi COVID-19, kampus mau tak mau melakukan 100% kegiatan akademis secara daring. Keadaan force majeure ini bisa membantu adaptasi para civitas akademika bila kelak bencana non-alam tersebut berakhir.

Meski demikian, Imam memperkirakan bahwa proses akademis tidak akan berubah terlalu drastis . Jika pun harus menggunakan metode daring, seperti dalam perkuliahaan, persentasenya tidak lebih dari 20% dari total jam kuliah.

“Menurut kurikulum baru, kurikulum Merdeka, 20% kuliah dapat dilakukan daring. Jadi daring [penuh] itu berlaku hanya masa pandemi COVID-19,” kata alumnus University of New South Wales ini.

Menurut rilis Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sekitar 96% perguruan tinggi di Tanah Air telah mengadopsi metode daring selama pandemi. Penggunaaan terknologi dalam kegiatan akademis pun terus didorong andaikata nanti wabah lenyap.

Berkaca dari negara maju seperti Amerika Serikat (AS), sebagaimana dikutip dari artikel Online Enrollments Grow, but Pace Slows di situs Inside Higher Ed, porsi mahasiswa sarjana perguruan tinggi yang pernah mengambil minimal satu kelas daring pada 2018 mencapai 34,7%. Di tingkat pascasarjana, persentase lebih tinggi lagi yakni 40%.

Menurut Shelly Marasi dkk dalam artikel Faculty Satisfaction with Online Teaching: a Comprehensive Study with American Faculty (Studies in Higher Education, 2020), terdapat ribuan dosen di AS yang telah 100% melakukan perkuliahan daring. Namun, faktor kepuasan kalangan pengajar menjadi tantangan untuk memasifkan proses tersebut.

Untuk itu, kata Shelly, institusi perguruan tinggi disarankan memperbaiki kepuasan pengajar. Misalnya dengan memberikan dosen waktu untuk merancang perkuliahaan daring. Selain itu, perguruan tinggi perlu menyediakan dukungan atas masalah teknis yang mungkin terjadi.

Bila AS yang infrastruktur telekomunikasinya baik saja masalah perkuliahan daring masih eksis, bagaimana dengan Indonesia?Merujuk proyeksi Statista, penetrasi internet AS pada 2020 mencapai 88,7% populasi dengan kecepatan internet rata-rata 18,75 Mbps pada 2017. Pada masa yang sama, tingkat penetrasi internet di Indonesia baru sekitar 44,0% dengan kecepatan rata-rata 7,2 Mbps?

Dihubungi terpisah, Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Bidang Pengembangan SDM Digital Onno W. Purbo tidak memungkiri potensi perkuliahan dan pembelajaran daring setelah pandemi berakhir. Namun, dia mengingatkan kembali bahwa internet adalah kunci penting keberhasilan transformasi secara merata di Tanah Air.

Di kota besar, kata Onno, internet bisa mudah diakses dengan kecepatan mumpuni. Sebaliknya, masyarakat pedesaan tidak mendapatkan keuntungan tersebut. “Padahal setengah Indonesia itu adalah wilayah pedesaan,” ujarnya.

Selain dikenal sebagai praktisi dunia siber, Onno juga berprofesi sebagai dosen dan pembimbing tugas akhir mahasiswa. Dia mengaku pertama kali streaming dengan webcam untuk aktivitas perkuliahaan pada 1998.

Setelah dua dekade, telekonferensi video kini berkembang pesat. Hanya dengan ponsel pintar dan aplikasi gratis, orang-orang kampus bisa saling berinteraksi dalam forum ilmiah hingga membuahkan gelar akademis.

Kendati diuntungkan dari adopsi teknologi, orang seperti Sholahuddin Al Ayyubi meyakini nilai-nilai kemanusiaan universal tidak akan hilang gara-gara berkurangnya sentuhan fisik. Menurut dia, tujuan menempuh studi tetap sama, bukan semata mencari gelar tetapi menambah khasanah keilmuan agar semakin membumi.

“Bagaimana lebih tawadu, lebih sabar, dan yang lebih penting lagi bisa jadi manusia yang baik,” ucapnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper