Bisnis.com, JAKARTA - Perbankan Amerika Serikat (AS) memperkirakan pandemi virus corona akan memukul pendapatan ekonomi global hingga US$5 triliun, lebih besar dari ukuran ekonomi Jepang, dalam dua tahun ke depan.
Meskipun penurunan diperkirakan berumur pendek, tetapi pemulihannya membutuhkan waktu. Bahkan dengan dosis stimulus moneter dan fiskal yang dikucurkan saat ini, produk domestik bruto tidak akan kembali ke tren sebelum krisis sampai setidaknya 2022. Skala waktu itu serupa dengan yang terjadi setelah krisis keuangan global pada 2008.
Hal itu menggarisbawahi tugas besar bagi para pembuat kebijakan, yang harus memberikan cukup stimulus untuk mendorong ekonomi kembali rebound, seeaya mempertahankan kebijakan karantina dan penutupan bisnis untuk mencegah penyebaran virus.
"Trajektori sangat berarti. Jika lintasan Anda positif, itu mendukung kepercayaan bisnis dan mendukung individu yang merasa mereka bisa mendapatkan pekerjaan. Itu unsur penting yang memasuki paruh kedua tahun dan 2021," kata Kepala Ekonom Citigroup Inc. Catherine Mann.
Sementara itu, JPMorgan Chase & Co memprediksi dunia akan kehilangan US$5,5 triliun hampir 8 persen dari PDB hingga akhir tahun depan. Biaya untuk ekonomi negara maju saja akan sama dengan yang disaksikan pada resesi 2008-2009 dan 1974-1975.
Morgan Stanley menyatakan bahwa meskipun ada respons kebijakan yang agresif, pemulihan baru akan terjadi pada kuartal ketiga 2021 sebelum PBD di negara maju kembali ke perolehan saat sebelum corona. Sedangkan Deutsche Bank AG mengatakan PDB AS dan Uni Eropa kemungkinan akan berada pada angka US$1 triliun di bawah target sebelum masa corona, pada akhir 2021.
Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO mengatakan bahwa pandemi dapat menyebabkan perdagangan internasional terpukul lebih keras dibandingkan dengan era pascaperang. Dana Moneter Internasional akan mengumumkan perkiraan terbaru sebagai bagian dari pertemuan musim semi minggu depan.
"Ekonomi global sudah berkontraksi, dan kehilangan tenaga lebih cepat daripada pada hari-hari awal krisis keuangan," kata ekonomi Bloomberg, Dan Hanson.
Selain jumlah kematian yang terus meningkat, bisnis akan kehilangan pendapatan dan banyak yang terpaksa ditutup. Jutaan karyawan akan dikeluarkan dari pekerjaan.
Organisasi Perburuhan Internasional mengatakan minggu ini bahwa lebih dari 1 miliar pekerja berisiko tinggi terhadap pemotongan gaji atau kehilangan pekerjaan.
"Ini akan bersifat sementara, tetapi itu menekankan segalanya," kata CEO Blackstone Group Inc. Steve Schwarzman.
Bank for International Settlements telah memperingatkan bahwa upaya negara yang tidak terkoordinasi dapat menyebabkan gelombang kedua, skenario terburuk yang akan membuat PDB AS mendekati 12 persen di bawah tingkat sebelum virus pada akhir 2020.
Sementara itu, Kepala Penelitian Kebijakan Makro Global State Street Global Advisors Amlan Roy mengungkapkan tanpa upaya global yang terpadu, pasar negara berkembang menghadapi jalan yang sangat panjang menuju pemulihan,
"Resesi yang akan kita lihat, jika pasar negara berkembang mengatasi pandemi sampai Juni, adalah sesuatu yang bisa berlangsung bertahun-tahun, seperti krisis Asia dan Amerika Latin. Ini kemungkinan akan efek lima atau 10 tahun jika dunia tidak bersatu," katanya.
Konsekuensi dari pandemi ini kemungkinan besar akan dirasakan untuk waktu yang sangat lama. Penelitian dari University of California, Davis, menunjukkan bahwa wabah sebelumnya cenderung membatasi upah dan membebani investasi selama beberapa dekade.
Kepala Ekonom di Berenberg Holger Schmieding menilai pemerintah mungkin perlu menjaga pembatasan perjalanan besar-besaran pada akhir 2020 atau 2021 untuk mencegah pandemi berulang. Di sisi lain, pemerintah juga harus tetap meningkatkan konsumsi untuk mendukung pemulihan.