Bisnis.com, JAKARTA - Selama lebih dari dua tahun, AS telah menjadi produsen minyak nomor wahid di dunia, sebuah status kebanggan Presiden Donald Trump. Meski demikian, pencapaian itu sebagian besar ditopang oleh konsesi Arab Saudi yang mengatur produksi agar sejalan dengan Rusia yang membantu menopang harga.
Kini di tengah perang harga dan ancaman Arab Saudi untuk membanjiri pasar minyak dunia, status tersebut terancam bergeser. Setelah kesepakatan pengetatan produksi antara OPEC dengan Rusia gagal dicapai, harga minyak jatuh bebas, turun menjadi sekitar US $30 per barel.
Imbasnya, sebagian besar ladang minyak serpih AS tidak menguntungkan dan pengebor berusaha keras untuk mengurangi operasi. Menurut BloombergNEF, dengan harga US $35 per barel, produksi AS yang kini 13 juta barel per hari bisa turun hingga 1 juta saja. BloombergNEF juga memprediksi penurunan 1,5 juta barel pada akhir 2021 untuk empat bidang minyak serpih teratas.
Sedangkan menurut CEO Pioneer Natural Resources Scott Sheffield, angkanya bisa menjadi 2,5 juta per hari pada 2021. Sementara Saudi telah berjanji untuk memasok 12,3 juta barel setiap hari.
"Ini semua tentang bertahan hidup. Sebagian besar perusahaan masuk ke mode pemeliharaan sampai harga naik, tidak ada yang ingin meningkatkan neraca dalam situasi seperti ini," katanya dilansir Bloomberg, Rabu (11/3/2020).
Setali tiga uang, Rystad Energy, perusahaan konsultan industri yang berbasis di Oslo, melihat penurunan 2 juta barel tahun depan jika harga tetap di bawah US $35. Goldman Sachs Group Inc. memperkirakan global benchmark Brent bertahan di angka US $30 per barel hingga kuartal ketiga tahun ini.
Occidental Petroleum Corp kemarin memotong dividennya untuk pertama kali dalam setidaknya 20 tahun terakhir. Perusahaan memilih untuk menghemat uang tunai untuk menutupi utangnya. Parsley Energy Inc. dan Diamondback Energy Inc. menyatakan akan mengurangi pengeboran dan fracking untuk sisa tahun ini.
Menurut perkiraan Coras Oilfield Research, secara keseluruhan, industri ini dapat memangkas jumlah kru frack di ladang minyak serpih AS hingga setengah tahun ini menjadi 140 orang.
Penurunan aktivitas yang besar itu dapat dengan cepat mengancam status Amerika sebagai pengekspor minyak bumi. Pekan lalu, AS adalah eksportir 1,52 juta barel minyak mentah dan produk olahan per hari.
Namun, industri serpih AS telah menunjukkan ketahanan luar biasa di masa lalu. Pada awal 2016, industri ini hancur berantakan ketika minyak mentah jatuh ke sekitar US $30 per barel. Saat itulah Saudi melangkah, membangun koalisi yang menyatukan OPEC dengan Rusia serta negara-negara lain untuk membatasi produksi global dan meningkatkan harga.
Menurut Rystad, produksi dapat terus meningkat dalam jangka pendek tahun ini sebelum mulai turun. Namun, untuk melangkah maju, ketika Saudi dan Rusia berseteru, industri AS terjebak di tengah-tengah dengan lebih sedikit ruang untuk bermanuver.
Pada saat yang sama, Indeks S&P para perusahaan pengeksplor minyak dan gas turun lebih dari 40 persen selama tiga tahun terakhir dan telah merosot 62 persen year-to-date pada 2020.
Di pasar obligasi, kekalahan yang dipicu oleh wabah virus global sudah menekan utang perusahaan-perusahaan ini. Menurut data yang dikumpulkan oleh Bloomberg, hasil rata-rata pada obligasi pengebor dengan nilai pasar di bawah US $500 juta menjadi sekitar 30 persen pada pekan lalu, setara dengan obligasi pemerintah yang dikeluarkan oleh Lebanon.
Kini ada kekhawatiran yang berkembang bahwa jumlah kebangkrutan sektor akan meningkat, meskipun itu merupakan faktor yang kemungkinan akan memakan waktu enam bulan atau lebih untuk berakhir.
"Saya tidak akan terkejut melihat 55 hingga 60 kebangkrutan tahun ini, dibandingkan dengan 50 tahun lalu," kata Raoul Nowitz, Direktur Pelaksana Restrukturisasi dan Layanan Dukungan Aset yang tertekan di SOLIC Capital. Angka itu berpeluang bertambah jika penurunan harga terus berlangsung dalam jangka waktu panjang.