Bisnis.com, JAKARTA –Jumlah korban perdagangan manusia yang berhasil diselamatkan di Thailand pada tahun lalu mencapai 1.807 orang, melonjak dari catatan pada tahun lalu yang mencapai berjumlah 622 orang. Angka ini juga menjadi rekor baru yang mengalahkan angka tertinggi sebelumnya yakni 982 orang pada 2015.
Jumlah tersebut merupakan data yang disampaikan para pegiat antiperdagangan manusia pada Selasa (7/1/2020) seperti dilansir dari Reuters. Peningkatan ini sekaligus memicu meningkatnya kekhawatiran akan kemampuan negara tersebut untuk mendukung para penyintas.
Sekitar 60% dari para korban yang diselamatkan pada tahun lalu adalah perempuan dan sebagian besar adalah pekerja yang diperdagangkan. Hampir tiga perempat dari mereka adalah migran Burma yang menuju Malaysia, kata polisi.
Thailand telah meningkatkan upaya untuk mengatasi perdagangan dalam beberapa tahun terakhir, di bawah pengawasan dari Amerika Serikat dan menyusul kritik atas kegagalannya untuk menghentikan perdagangan dalam industri makanan laut bernilai miliaran dolar, serta perdagangan seks.
Para pengacara dan aktivis menilai lonjakan besar dalam jumlah korban yang ditemukan oleh pihak berwenang akan menimbulkan tekanan pada sembilan tempat penampungan yang dikelola pemerintah dalam mendukung para korban yang selamat.
“Ini memberatkan anggaran (untuk para korban) dan memengaruhi kemampuan staf untuk memberikan dukungan terutama ketika jumlah staf sudah rendah,” kata Papop Siamhan, seorang pengacara independen dengan keahlian dalam bidang perdagangan manusia.
Mereka yang diidentifikasi sebagai korban perdagangan manusia dapat memilih untuk menerima bantuan dari pemerintah, yang mencakup tinggal di tempat penampungan dan kompensasi melalui dana negara yang menyediakan biaya hidup dan rehabilitasi.
Para korban juga berhak atas bantuan hukum dan peluang kerja sambil menunggu persidangan untuk memberikan kesaksian, atau dikembalikan ke rumah.
Namun Chonticha Tangworamongkon dari Yayasan Hak Asasi Manusia dan Pembangunan (HRDF), mengatakan dia khawatir bahwa semakin meningkatnya jumlah korban akan membuat mereka kesulitan untuk mendapatkan perawatan individual.
“Ketika sekelompok besar orang memasuki tempat penampungan, akan sulit untuk memberi mereka hak-hak mereka, seperti perawatan kesehatan,” kata Tangworamongkon, yang organisasinya memberikan bantuan hukum gratis kepada pekerja migran dan korban perdagangan manusia.
Para aktivis telah mempertanyakan apakah semua yang diselamatkan oleh pihak berwenang diperdagangkan - yang melibatkan eksploitasi orang untuk keuntungan finansial – atau diselundupkan, yang berarti memasuki negara lain secara illegal.
Thailand adalah rumah bagi sekitar 4,9 juta migran, yang merupakan 10% dari total angkatan tenaga kerjanya, menurut PBB. Sebagian besar pendatang dari negara-negara tetangga yang lebih miskin seperti Myanmar, Kamboja dan Vietnam dan rentan terhadap perdagangan.
Pada Senin lalu, Thailand mengumumkan kampanye untuk mengidentifikasi dan menanggulangi pekerja anak di pompa bensin, dalam kemitraan dengan unit minyak dan ritel PTT Plc, perusahaan energi terbesar di negara itu.
“Pompa bensin adalah salah satu kelompok risiko, karena beberapa dari mereka yang berada di pedesaan masih mempekerjakan pekerja anak dalam shift malam,” kata Sekretaris Menteri Tenaga Kerja Thailand Letnan Jenderal Nanthadet Meksawat.
Menurut data Global Slavery Index yang dikeluarkan kelompok hak asasi Walk Free Foundation, negara Thailand menjadi rumah bagi sekitar 610.000 orang korban perbudakan modern, sekitar satu dari 113 dari 69 juta populasinya.