Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kasus BLBI : Cari Sjamsul Nursalim, KPK Minta Interpol Terbitkan Red Notice

Hal tersebut dilakukan setelah sebelumnya KPK meminta Mabes Polri memasukan Sjamsul dan Itjih ke Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron.
Markas  Interpol di Lyon Prancis/Istimewa
Markas Interpol di Lyon Prancis/Istimewa

Kabar24.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergerak cepat untuk mencari keberadaan pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim.

Lembaga itu telah meminta Sekretariat Biro Pusat Nasional (NCB) atau Set NCB-Interpol Indonesia untuk melakukan pencarian terhadap kedua tersangka. Permintaan melalui surat telah dilayangkan pada Sekretaris NCB-Interpol Indonesia Brigjen Pol. Napoleon Bonaparte.

Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan bantuan tersebut dilakukan setelah sebelumnya KPK meminta Mabes Polri memasukan Sjamsul dan Itjih ke Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron pada September 2019.

"KPK juga telah mengirimkan surat pada SES NCB-Interpol Indonesia perihal bantuan pencarian melalui red notice terhadap tersangka SJN [Sjamsul Nursalim] dan ITN [Itjih Nursalim]," ujar Juru bicara KPK Febri Diansyah dalam keterangan tertulis Kamis (21/11/2019).

Febri mengatakan bahwa surat red notice tersebut dikirim pada 6 September yang pada intinya memberitahukan soal perkara dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diduga dilakukan pasangan suami istri itu.

Selain itu, isi surat juga meminta permohonan bantuan pencarian melalui mekanisme Red Notice Interpol dengan permintaan apabila keduanya ditemukan agar segera dilakukan penangkapan dan menghubungi KPK.

"Langkah berikutnya, sesuai dengan respons dari pihak NCB Interpol Indonesia maka akan mengagendakan pertemuan koordinasi dengan KPK sekaligus jika dibutuhkan dilakukan gelar perkara," tuturnya.

Febri menyebut jika bantuan Polri dan NCB-Interpol Indonesia memiliki peran yang krusial untuk penanganan kasus dengan dugaan kerugian keuangan negara sekitar Rp4,58 triliun tersebut. 

Pada perkara ini, Sjamsul dan Itjih Nursalim sebelumnya tidak kooperatif ketika dipanggil tim penyidik KPK terkait kasus dugaan korupsi SKL BLBI. Keduanya mangkir pada panggilan 28 Juni dan 19 Juli lalu.

Namun, jauh sebelum itu Sjamsul dan Itjih tak pernah hadir sebanyak tiga kali pada 2018 saat kasus ini masih dalam tahap penyelidikan.

Adapun sebelumnya surat panggilan pemeriksaan telah dikirim ke lima alamat berbeda masing-masing di Indonesia dan Singapura. Di Indonesia, dikirim ke alamat Simprug W.G 9, Grogol Selatan, Jakarta Selatan.

Sementara untuk alamat di Singapura, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan ke alamat 20 Cluny Road; Giti Tire Pte. Ltd. (Head Office) 150 Beach Road, Gateway West; 9 Oxley Rise, The Oaxley; dan 18C Chatsworth Rd.

Tak hanya itu, KPK juga sebelumnya telah meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia mengumumkannya di papan pengumuman kantor KBRI Singapura. Keduanya diduga berada di Singapura dengan status tinggal tetap (permanent residency).

KPK juga telah meminta bantuan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), Singapura selaku komisi antikorupsi di negara itu. Hanya saja, belum menemukan titing terang soal keduanya.

Di sisi lain, sejak 10 Juni 2019, KPK telah memeriksa 30 orang saksi pelbagai unsur baik mantan menteri, swasta hingga para mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terkait kasus ini.

Dalam perkara ini, KPK menduga Sjamsul dan Itjih melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun, yang kemudian menjadi dasar kerugian keuangan negara senilai Rp4,58 triliun dari hasil hitungan BPK.

Penetapan Sjamsul dan Itjih berdasarkan hasil pengembangan perkara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung.

Saat dilakukan Financial Due Dilligence(FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa Sjamsul melakukan misrepresentasi dan aset tersebut tergolong macet.

Pada 24 Mei 2007, PT Perusahaan Pengelola Aset melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp220 miliar. Padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 triliun.

Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper