Bisnis.com, JAKARTA – Amerika Serikat belakangan menjadi sorotan lantaran maraknya wabah penyakit paru-paru dengan korban hampir 1.300 yang sakit serta sekitar 29 orang meninggal dunia akibat konsumsi vape atau rokok elektrik.
Akan tetapi, mengapa ribuan kasus sekarat akibat vape tersebut hanya ditemukan di AS dan hampir tidak ada dilaporkan di Inggris?
Mengutip laporan yang diturunkan VICE.COM Jumat (11/10/2019), influencer vape Matt Culley menyatakan saat ini beberapa rumah sakit di Inggris bahkan telah mengizinkan perusahaan vape untuk membuka toko di properti rumah sakit tersebut. Hal ini misalnya seperti dilakukan oleh Sandwell dan Rumah Sakit West Birmingham sejak Juli lalu dengan harapan untuk mencegah orang merokok di luar.
“Sementara itu, di AS sekarang ini ada orang-orang yang pergi ke toko-toko vape dan memberi tahu pemilik toko bahwa mereka membunuh orang. Ini kan gila,” katanya.
Meskipun beberapa ahli menyatakan bahwa Inggris tidak kebal terhadap masalah kesehatan terkait nikotin, tapi krisis vaping yang terjadi di AS ternyata tidak dialami oleh Inggris. Pejabat Inggris telah membuat sistem pengaturan yang memonitor kadar nikotin dalam produk vape.
Perbedaan mencolok penanganan vape, yakni Inggris lebih menggunakan pendekatan terukur yang lebih logis daripada pendekatan negara-negara bagian AS yang dinilai cenderung panik.
“Saya pikir perbedaan antara Inggris dan AS adalah karena kecenderungan AS untuk mengubah masalah kesehatan menjadi perang moral,” kata Brad Rodu, seorang profesor kedokteran di Universitas Louisville yang juga ahli pengurangan dampak buruk kecanduan tembakau.
Rodu mencatat bahwa masalah besaar lainnya yakni kekacauan birokrasi dalam memperoleh dana untuk penelitian di AS. “Tampaknya para pembuat kebijakan di AS entah benar-benar tidak tahu tentang sejarah tembakau atau sepenuhnya mengabaikannya.”
Seperti diberitakan, beberapa negara bagian di AS telah mengumumkan pelarangan peredaran vape beraroma. Teranyar, pada Selasa lalu, Montana menjadi negara bagian AS yang ikut mengumumkan larangan penjualan vape beraroma.
Selain itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (The Food and Drug Administration / FDA) saat ini juga sedang menimbang untuk mengeluarkan produk vaping tertentu dari pasar secara federal.
Regulator AS dikritik karena dinilai bergerak terlalu lamban untuk menangani produk vape. Pelarangan yang dilakukan saat ini pun ditengarai justru akan mendorong pengguna vape kembali ke rokok atau bahkan ke pasar gelap sehingga kelak akan menimbulkan lebih banyak korban.
Sejumlah kasus korban vaping yang terjadi di AS saat ini dikaitkan dengan produk THC (ganja) yang beredar di pasar gelap. Pendukung vape bersikeras bahwa larangan tersebut hanya akan mendorong orang untuk bereksperimen untuk mengoplos cairan vape yang justru malah semakin membahayakan.
Selain itu, tindakan negara bagian dan federal yang bersiap untuk menutup toko vape kecil, juga akan berpotensi menyerahkan lebih banyak pasar kepada pemain besar di industri vape, yakni Juul, perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Big Tobacco Altria.
“Di AS orang bisa bebas punya senjata api dan menembak, tetapi penduduk di larang untuk menghisap vape. Jadi benar-benar tidak nyambung antara apa yang harusnya diperlakukan sebagai keselamatan publik dengan apa yang sebenarnya atau seharusnya ditakuti orang,” kata Harry Shapiro, Direktur DrugWise (situs web edukasi narkoba yang berbasis di Inggris) serta penulis laporan Global State of Tobacco Harm Reduction.
Perbedaan kebijakan antara AS dan Inggris, antara lain karena pejabat kesehatan di Inggris telah lama menggembar-gemborkan produk vape tersebut sebagai alternatif yang lebih aman dibandingkan rokok biasa, serta sebagai alat bantu untuk berhenti merokok.
Inggris juga memiliki peraturan yang lebih ketat dan menargetkan bebas asap pada 2030. Meski banyak pejabat kesehatan dan politisi di Inggris ingin menggunakan vape untuk membantu mewujudkan misi bebas asap rokok, harus diakui masih terlalu dini untuk menilai efektifitasnya.
Sejak 2016, Inggris telah mengikuti Pedoman Produk Tembakau Uni Eropa, yang membuat sejumlah pembatasan iklan serta pembatasan kadar nikotin dalam cairan vape. Seperti yang dicatat CNN, batasan nikotin maksimal 20 mg/ml, sedangkan kadar ada di dalam Juul disebutkan ada yang mencapai 59 mg/ml.
Dengan kata lain, perbedaan tersebut adalah terkait perspektif mengenai vape dan adanya visi untuk tujuan bersama, di mana pejabat dari Public Health England (PHE) berulang-ulang menyatakan vaping 95% lebih tidak berbahaya dibandingkan dengan rokok.
“Inggris punya sejarah panjang dalam mengadopsi pendekatan pengurangan dampak buruk untuk mengubah perilaku dan meningkatkan kesehatan,” kata Deborah Robson, peneliti postdoctoral senior dalam kecanduan tembakau di King’s College London.
“Kami mengakui berdasarkan penelitian empiris selama beberapa decade, bahwa nikotin bukan zat berbahaya dalam tembakau. Tapi menghirup ribuan gas beracun dan partikel tar lainnya yang berasal dari pembakaran tembakau itu yang berbahaya dan membunuh perokok.”
Robson mengatakan perspektif masyarakat Inggris terhadap nikotin berbeda dengan di AS. Bahkan, bulan Oktober malah ditetapkan sebagai “Stoptober” yang mendorong orang untuk meninggalkan kebiasaan merokok. Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris secara harfiah mendorong perokok untuk beralih dari rokok yang mudah terbakar ke rokok elektrik.