Bisnis.com, JAKARTA – Bagi dunia, keberadaan kilang milik Saudi Aramco bisa jadi memiliki arti tersendiri. Sebuah makna dari keberadaan minyak bumi yang seolah tiada habisnya di bumi negara Arab yang kini bisa dikatakan paling powerful itu.
Singkatnya, sebuah fasilitas produksi super vital yang dimiliki sebuah negara super power di kawasan Timur Tengah.
Minyak dan kedigdayaan Arab Saudi, terutama dari sisi militer dan persenjataan tempur, tentu tidak dapat dilepaskan dari hubungan monarki tersebut dengan Amerika Serikat. Washington haus akan minyak untuk menggerakkan perekonomiannya di seberang lautan.
AS sendiri sebenarnya tergolong kaya minyak juga, apalagi termasuk terdepan dalam penerapan teknologi eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi. Dengan teknologi lanjutan, minyak bumi seolah ditemukan lagi dari sumur atau ladang yang sama.
Memang produksi minyak domestik AS tidak dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan dalam negerinya. Namun minyak dari bumi Arab Saudi memiliki arti khusus bagi Riyadh dan Washington. Hubungan yang sudah tertancap jauh sebelum kilang Saudi Aramco diserang drone yang disebut dikendalikan oleh kekuatan luar.
Arti khusus relasi Riyadh-Washington sungguh dalam sehingga berhasil membangun kedigdayaan militer monarki tersebut seperti yang terlihat dewasa ini.
Seperti diulas secara mendalam oleh Craig Unger dalam bukunya yang berjudul House of Bush, House of Saud: The Secret Relationship Between the World's Two Most Powerful Dynasties, hubungan bersejarah tersebut telah dimulai oleh Raja Abdul Aziz, pendiri Arab Saudi modern, melalui apa yang kemudian populer disebut sebagai 'minyak untuk keamanan'.
Inilah momen bersejarah ketika Abdul Aziz bertemu langsung dengan Presiden AS Franklin D. Roosevelt di kapal perang USS Quincy di Terusan Suez pada 14 Februari 1945.
Dinasti Saud, menurut Unger, berhasil mempertahankan kendali atas Arab Saudi dan cadangan minyak terbesarnya di dunia, yaitu dengan cara menjaga keseimbangan antara dua pihak yang telah bersumpah untuk menghancurkan satu sama lain.
Dinasti Saud menganut sistem teokrasi Islam yang mendapat kekuatan dari persekutuannya dengan kelompok Wahabi, sebuah aliran Islam yang berusaha mempertahankan keaslian ajaran agamanya dan menjadi lahan subur bagi tumbuhnya jaringan garis keras dunia untuk melakukan 'jihad' terhadap AS dan sekutunya.
Di lain pihak sekutu terpenting Dinasti Saud justru adalah AS sendiri. Dengan pengamat sekilas terhadap hubungan itu, terungkap adanya kontradiksi yang mengejutkan: AS sebagai negara sumber demokrasj, harus melindungi dan mempersenjatai monarki absolut.
AS yang bersumpah untuk membela Israel, apapun dan kapanpun, ternyata juga penjamin keamanan bagi negara 'pengayom' Islam Wahabi, yang merupakan salah satu musuh abadi Israel dan AS.
Kita lihat sendiri, secara mengejutkan hubungan yang sensitif tersebut bukan hanya bisa bertahan tetapi berlangsung sangat sukses. Dalam waktu hampir lima dekade sejak embargo minyak pada 1973, AS telah membeli minyak dengan 'harga yang masuk akal' bernilai retusan miliar dolar. Pada periode waktu yang sama pula, Arab Saudi telah membeli persenjataan dengan nilai yang sangat menggiurkan bagi kontraktor pertahanan AS.
Berdasarkan analisis Unger ini, mengapa Arab Saudi kecolongan terhadap serangan drone terhadap Saudi Aramco baru-baru ini yang dituding dilakukan oleh pihak luar? Apakah AS sudah kurang setiap terhadap sekutu utamanya tersebut? Dari pernyataan Washington belum lama ini, pandangan skeptis itu agaknya dapat ditepis. Namun perbedaan dalam mengkalkulasi arah datangnya drone antara Riyadh dan Washington, menarik untuk diikuti.
Arab Saudi menuduh pemberontak Yaman (Houthi) yang didukung Iran sebagai pelakunya. Adapun AS berusaha menampilkan 'bukti-bukti' baru untuk menyeret Teheran sebagai dalang serangan. Ketika ketegangan di perairan selat Hormuz antara AS dan Iran belum reda, akankah Gedung Putih ingin juga melibatkan sekutu abadinya di Timur Tengah itu untuk berhadapan langsung dengan Teheran?