Bisnis.com, JAKARTA -- Stimulus moneter yang diberlakukan oleh Gubernur Bank Sentral Eropa (ECB) Mario Draghi pekan lalu dinilai tidak akan cukup untuk mencegah pertumbuhan ekonomi yang rendah dan inflasi yang lemah terus berlanjut.
Pandangan tersebut disampaikan oleh sejumlah analis Jepang, negara di Asia yang juga memiliki pengalaman panjang soal pelemahan yang berkepanjangan.
Bank Sentral Jepang (BOJ) juga mengambil kombinasi solusi yang seragam dengan ECB yakni membawa suku bunga ke level negatif serta memberlakukan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE).
Seperti dilansir melalui Bloomberg, mereka melihat situasi yang sama, seperti yang terjadi di Jepang, akan berlaku di zona euro jika ekonomi terus dihadapi dengan tantangan mendasar seperti produktivitas yang rendah, indikator yang berada di luar ranah kebijakan moneter.
Ekonom IHS Markit yang berbasis di Tokyo Harumi Taguchi mengatakan bahwa pelemahan yang sama pada laju pertumbuhan ekonomi adalah kondisi yang sudah dialami oleh Jepang.
“Eropa juga menghadapi berbagai masalah struktural. Tindakan ECB hanya akan efektif dalam jangka pendek dan penting untuk mengulur waktu, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana Anda menangani masalah struktural mendasarinya," katanya, seperti dikutip melalui Bloomberg, Senin (16/9/2019).
Masa kepemimpinan Draghi selama 8 tahun, yang akan berakhir pada Oktober, digambarkan dengan langkah-langkahnya yang radikal seperti memangkas suku bunga menjadi negatif, melakukan pendanaan jangka panjang dan QE.
Di sisi lain, BOJ telah memulai QE pada 2001, dan bergerak lebih jauh sejak Haruhiko Kuroda diangkat menjadi gubernur pada 2013, dengan membeli dana yang diperdagangkan di bursa dan secara langsung mengendalikan imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun.
Dalam menghadapi inflasi yang rendah, Draghi memulai suku bunga negatif pada 2014 dan QE pada 2015, sedangkan BOJ mulai memangkas suku bunganya menjadi di bawah nol pada 2016.
Keduanya berhasil mencegah deflasi, spiral penurunan harga dan upah yang dapat menyebabkan depresi ekonomi, tetapi inflasi masih kesulitan untuk mendapatkan momentum terlepas dari kebijakan yang selalu longgar.
Dari segi nilai tukar, pelonggaran yang berkelanjutan tidak selalu berarti mata uang, sebagai indikator penting untuk menguatkan ekonomi, akan melemah.
Euro mengalami penurunan terhadap dolar AS setelah rasio cadangan dipangkas menjadi di bawah nol, dan terus turun ketika para investor bertaruh pada program QE sebagai solusi terakhir.
Namun, mata uang benua biru tersebut justru menunjukkan penguatan sesaat setelah ECB mengumumkan rencana pembelian obligasi pada Januari 2015.
Di Jepang, ketika suku bunga berubah menjadi negatif, yen hanya turun untuk sesaat sebelum kembali menguat.
Sebuah opini menyatakan bahwa suku bunga di bawah nol, yang menekan profitabilitas peminjam, menyebabkan penurunan saham bank dan aksi jual ekuitas yang lebih luas.
Kondisi ini mendorong investor untuk membeli yen sebagai safe haven.
Bank-bank juga mengembalikan investasi dari luar negeri menjadi aset berdenominasi yen.
PERTUMBUHAN RENDAH
Kawasan euro keluar dari resesi dua kali pada 2013 dan ekonominya telah tumbuh sejak itu, sesuatu yang diklaim ECB secara parsial. Namun lajunya tidak cukup cepat, bahkan pada tahun bumper (bumper year) 2017 yang bersamaan dengan pemilu, PDB Uni Eropa hanya tumbuh 2,5%.
Perkiraan pertumbuhan bank sentral untuk tahun ini hanya 1,2% dan ada kemungkinan akan dipangkas lagi pada Kamis (19/9/2019), sedangkan manufaktur berada dalam resesi.
Adapun, pertumbuhan rata-rata di Jepang hanya mencapai 1,2% sejak 2013, terlepas dari kemampuan negara untuk secara luas mengoordinasikan kebijakan fiskal dan moneter, tugas yang akan jauh lebih sulit untuk dilakukan di Eropa.
"Menurunkan suku bunga lebih lanjut ketika sudah mendekati batasnya tidak berarti ekonomi akan mulai naik. Dalam hal itu, situasi Eropa mirip dengan Jepang," kata Yuichi Kodama, kepala ekonom di Meiji Yasuda Life Insurance Co. di Tokyo.
Kekhawatiran utama adalah produktivitas, nilai ekonomi yang dihasilkan setiap orang.
Sebagian besar negara maju telah menderita pertumbuhan produktivitas yang lebih lemah selama bertahun-tahun, dan itu adalah tren yang sulit dijelaskan oleh para ekonom.
Eropa dan Jepang memiliki masalah demografis yang sama, populasi mereka menua karena angka kelahiran menurun.
Hal ini menempatkan lebih banyak beban pada pekerja dan dapat menekan inflasi karena orang akan lebih banyak menabung untuk masa pensiun daripada menghabiskan uangnya.
Suku bunga yang sangat rendah dapat memperburuk hal itu karena pekerja akan mempertimbangkan pendapatan pensiun mereka.
Tidak seperti Jepang, Eropa memiliki gelombang migran yang membantu mengurangi masalah tersebut.
Yuki Masujima dari Bloomberg Economics mengatakan keragaman zona euro lebih tinggi daripada di Jepang dan itulah alasan untuk berhati-hati dalam menyederhanakan perbandingan antara kedua ekonomi.
"Meski demikian, mereka memang menghadapi masalah yang dimiliki oleh negara maju, termasuk populasi yang menua," kata Masujima.
Jepang dan Eropa juga sangat bergantung pada kegiatan ekspor untuk mendorong ekonominya.
Ketika permintaan global melemah, seperti yang saat ini terjadi akibat kebijakan proteksionisme Presiden AS Donald Trump, industri maufaktur dan ekonomi dalam negeri menjadi target yang paling rentan.
Menurut ekonom senior di Mizuho Research Institute, Kenichiro Yoshida, ada banyak nilai-nilai fundamental Eropa yang serupa dengan Jepang.
"Di negara-negara seperti Jerman, juga di Eropa secara umum ada kecenderungan tingkat pertumbuhan turun ketika volume perdagangan menurun. Singkatnya, mereka memiliki tingkat ketergantungan ekspor yang tinggi," ujar Yoshida.
Namun, satu hal yang perlu diperhatikan juga adalah bahwa kedua negara tersebut memiliki cadangan aset yang berlimpah jika sewaktu-waktu ekonomi mereka membutuhkan jump start.
Selama ECB dan BOJ terus melanjutkan langkah mereka dengan paket stimulus moneter, neraca mereka juga akan ikut meningkat.