Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Suap Impor Pangan Kembali Terulang, dari Daging, Gula, hingga Bawang

Kasus suap komoditas pangan yang kembali terjadi setelah terakhir terungkap pada 2016 itu seolah menandakan masih adanya celah praktik kotor di sektor impor pangan.
Tersangka suap izin impor bawang putih I Nyoman Dhamantra. JIBI/Bisnis/Ilham Budiman
Tersangka suap izin impor bawang putih I Nyoman Dhamantra. JIBI/Bisnis/Ilham Budiman

Bisnis.com, JAKARTA - Pepatah "pengalaman adalah guru yang terbaik" seolah tak berlaku bagi anggota Komisi VI DPR Fraksi PDIP I Nyoman Dhamantra, tersangka kasus dugaan suap pengurusan kuota impor bawang putih.

I Nyoman seperti tak berkaca pada pengalaman mantan Presiden PKS Lutfhi Hasan Ishaaq. LHI harus mendekam di penjara selama 18 tahun akibat suap kuota impor daging. Contoh lain, mantan Ketua DPD Irman Gusman musti mendekam di penjara sekama 4,5 tahun akibat suap impor gula.

Kasus suap komoditas pangan yang kembali terjadi setelah terakhir terungkap pada 2016 itu seolah menandakan masih adanya celah praktik kotor di sektor impor pangan.

Modus korupsi yang menjerat I Nyoman Dhamantra sebetulnya sederhana. Dia hanya diminta mengurus Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian dan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan.

Permintaan itu berasal dari pemilik PT Cahaya Sakti Agro (PT CSA) Chandry Suanda alias Afung, yang telah menyetor uang suap senilai Rp2 miliar untuk mengurus perizinan kuota impor 20.000 ton bawang putih.

Mulanya, angka yang disepakati para tersangka adalah Rp3,6 miliar dan komitmen fee sebesar Rp1.700-Rp1.800 dari setiap kilogram bawang putih yang diimpor.

Lahan bancakan sejumlah komoditas pangan seolah membuktikan bahwa tata kelola impor komoditas pangan masih terbilang buruk, setelah dua kejadian serupa terjadi pada 2013 dan 2016.  

Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko mengakui tata kelola dipandang sebagai salah satu biang kerok korupsi di sektor pangan.

"Tata kelola impor komoditas pangan masih sangat rawan korupsi," kata Dadang saat dihubungi Bisnis, Minggu (11/8/2019).

Menurut Dadang, hal itu lantaran masih tidak transparannya data dan atau informasi tentang kebutuhan dan ketersediaan bahan pangan yang akan diimpor. Kemudian, proses pembuatan kebijakan impor komoditas pangan juga dinilai belum melibatkan stakeholder utama. 

Dadang mengatakan bahwa peringatan terkait buruknya tata kelola impor bahan pangan pernah disampaikan Ombudsman pada awal tahun ini.

"Celah korupsi di tata kelola impor bahan pangan ini sepertinya sengaja dibiarkan," kata Dadang. 

Hal itu diduga agar selalu ada peluang terjadinya praktik percaloan yang melibatkan politisi, birokrat dan pengusaha. 

Dugaan Dadang memang wajar. praktik korupsi ini kerap melibatkan politisi atau anggota dewan yang berkepentingan. I Nyoman duduk di komisi VI yang membidangi dengan bidang perindustrian, perdagangan, koperasi UKM, BUMN, investasi dan standardisasi nasional, seakan memperdagangkan pengaruhnya untuk memuluskan proses pengurusan izin impor.

TRANSAKSI TAK DILAPORKAN

Buruknya tata kelola komoditas pangan sebelumnya pernah disorot Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui penelitiannya.

Riset yang disusun Divisi Riset ICW Firdaus Ilyas, Egi Primayogha, dan Mouna Wasef menyoroti adanya indikasi transaksi tidak dilaporkan yang ditemukan dalam pengelolaan impor pangan Indonesia yaitu beras, jagung, kedelai, dan daging. 

Berdasarkan riset tersebut, nilai transaksi yang tidak dilaporkan mencapai US$1,451 miliar atau setara dengan Rp20,324 triliun. Ini didapat dari besar volume yang terindikasi tidak dilaporkan, sebesar 2,74 juta ton.

Angka ini didapatkan dengan mengumpulkan data impor Badan Pusat Statistik (BPS) serta Kementerian Perdagangan sejak 2005 hingga 2017. 

ICW menelusuri angka ekspor dari negara pengimpor pangan dengan menyamakan kode HS (harmonized system) masing-masing komoditas.

Suap Impor Pangan Kembali Terulang, dari Daging, Gula, hingga Bawang

Lutfhi Hasan Ishaaq/Antara

Dari penelusuran ICW, terlihat total impor beras Indonesia mencapai 11,5 juta ton sepanjang 2005-2017. Akan tetapi, data itu berbeda dibandingkan data negara pengekspor dengan total beras yang dikirim ke Indonesia mencapai 13 juta ton.

Pencatatan impor kedelai di dalam negeri sepanjang 12 tahun hanya 22,6 juta ton, tak sesuai dengan pencatatan di negara-negara asal yang menunjukkan ekspor kedelai ke Indonesia mencapai 23,3 juta ton.

Sedangkan impor jagung 2005-2012 tercatat  21 jutaton dalam catatan pemerintah, sedikit berbeda dengan angka ekspor dari negara lain dengan akumulasi ekspor jagung ke Indonesia 21,5 juta ton.

Sementara angka impor daging dengan kode HS 0210 yang tercatat pemerintah mencapai 1,2 juta ton, berbeda data dengan negara penjual sepanjang 2005-2016 dengan angka 1,42 juta ton.

ICW dalam laporannya menyebut terdapat ketidakjelasan segi perencanaan dan inkonsistensi kebijakan, sehingga menciptakan loophole di regulasi dan kelembagaan. 

"Di sisi lain, ketergantungan terhadap sumber daya alam untuk dijadikan sumber penerimaan juga masih tinggi," tulis laporan tersebut dikutip Bisnis, Minggu (11/8/2019).

Tak hanya itu, koordinasi antarinstansi pemerintah yang berwenang juga dapat dikatakan buruk. Terdapat ragam jenis data berbeda yang digunakan masing-masing instansi.

Di lain pihak, sebut ICW, biaya produksi pun tinggi terutama untuk sektor pangan dan energi, sehingga memunculkan hal-hal seperti inefisiensi, value chain yang panjang, budaya broker, dan sebagainya.

DOMINASI POLITIK

Kasus ini secara dominan kental dengan politik kekuasaan, di mana saat kasus suap impor daging sapi pada 2013 silam, Lutfhi Hasan Ishaaq menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera, yang tak ada korelasi atau relevansinya di Kementan atau Kemendag.

Sementara Irman Gusman, pada saat terjerat kasus suap impor gula berposisi sebagai Ketua DPD. 

Suap Impor Pangan Kembali Terulang, dari Daging, Gula, hingga Bawang

Warga binaan Irman Gusman berjalan untuk melaksanakan salat Idulfitri 1438 H, di Lapas Klas IA Sukamiskin Bandung, Jawa Barat, Minggu (25/6/2017)./Antara-Novrian Arbi

Adapun I Nyoman, yang ditangkap KPK di Bandara Soekarno-Hatta di hari yang sama dengan penyelenggaraan Kongres PDIP, merupakan anggota Komisi VI DPR.

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz mengatakan kasus korupsi seperti ini selalu ada relasi tripartit di antara tiga pihak yang terlibat yaitu swasta yang memiliki kepentingan, birokasi yang meladeni kepentingan itu, dan politisi di tengah kedua pihak sebelumnya.

"Kasus suap impor bawang ini adalah bingkai besarnya ada perburuan rente oleh sektor-sektor politik yang menjadi problem terbesarnya," kata Donal.

UPAYA PENCEGAHAN 

Kebetulan atau tidak, tiga hari sebelum OTT I Nyoman dan kawan-kawan, KPK menggelar sosialisasi pencegahan dunia usaha terhadap sektor pangan.

Dalam pertemuan itu, KPK menyebut bahwa sektor pangan menjadi salah satu konsennya dalam mensosialisasikan Panduan Pencegahan Korupsi (CEK) untuk dunia usaha. 

Dalam sosialiasi itu, KPK turut mengundang para pelaku usaha yang di antaranya tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).

Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengaku setiap kasus korupsi nyatanya ada pelibatan dari pihak swasta, mengingat kecil kemungkinan sesama penyelenggara negara memberikan suap.

Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan Kadin Franciscus Welirang mengatakan bahwa salah satu sektor yang berpotensi besar untuk dikorupsi adalah sektor pangan. Padahal, kata dia, sektor pangan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. 

Kemudahan dalam proses perizinan dan lainnya harus mulai diwujudkan bersama-sama sehingga efisiensi, daya saing, dan produk jasa dapat ditingkatkan. 

"Oleh karena itu sektor pangan harus mendapatkan penanganan yang baik," kata dia ketika itu.

Menjawab persoalan tersebut, Kepala Biro Perencanaan Kementerian Pertanian Abdul Basit MS mengatakan Kementan saat ini telah meminta seluruh jajaran untuk mereformasi pada sektor perizinan dan pelayanan publik yang bersinggungan langsung dengan sektor usaha. 

Selain itu, transparansi pada penyederhanaan struktur birokrasi, mengoptimalkan teknologi aplikasi seperti e-budgetting, e-planning, dan lain-lain.

Dalam empat tahun terakhir, lanjutnya, Kementan sudah melakukan mutasi, demosi dan memberhentikan 1.025 pegawai yang terbukti melanggar hukum, di samping mem-blacklist sejumlah perusahaan yang merugikan pertanian negara.  

"Kementan juga memperkuat budaya antikorupsi di internal kementan itu sendiri. Kami berharap keseriusan kami dalam swasembada pangan disambut baik oleh seluruh stakeholder di sektor pertanian dan pangan, dan bersama sama mewujudkannya," ujar dia.

Namun, nyatanya korupsi yang bersingunggan dengan komoditas pangan malah kembali terjadi beberapa hari kemudian.

Ketua KPK Agus Rahardjo dalam konferensi pers Kamis lalu mengingatkan Kemendag dan Kementan agar secara serius melakukan pembenahan menyeluruh dalam kebijakan dan proses impor pangan.

Apalagi, KPK telah membuat rekomendasi dan kajian Komoditas Pangan Strategis Bawang Putih selama tahun 2017. 

Kini, tinggal dua kementerian itu yang harus betul-betul berbenah mengingat kajian dan rekomendasi sebagai upaya pencegahan telah disusun oleh lembaga antirasuah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ilham Budhiman
Editor : Saeno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper