Bisnis.com, JAKARTA—Napoleon pernah berkata, " Biarkan Tiongkok tertidur karena jika Tiongkok terbangun, ia akan mengguncangkan dunia."
Melompat ke era modern, ekonom kondang Jeffrey Sachs berucap dengan lugas: "Tiongkok adalah kisah pembangunan paling sukses dalam sejarah dunia."
Narasi dari buku Fareed Zakaria berjudul The Post-American World tersebut sedikit banyak bisa dijadikan pijakan untuk menguak rahasia dibalik keberanian China berperang dengan Amerika Serikat saat ini. Perang dagang yang belum ada duanya dalam sejarah perekonomian global modern.
Tak dapat dipungkiri, perang dagang kedua raksasa ekonomi dunia tersebut akhirnya telah menggoyang banyak sendi dan pilar ekonomi negara-negara lainnya, terutama yang menjalin hubungan dagang cukup intens dengan AS maupun China. Tidak terkecuali dengan Indonesia.
Perang dagang yang makin berkecamuk hebat itu menjadi faktor eksternal paling dominan yang mempengaruhi dinamika perekonomian suatu negara. Pun, Indonesia tidak terkecuali.
Dalam melihat fenomena perang dagang ini, rasanya kita perlu menelisik lebih dalam untuk menjawab pertanyaan fundamental: Kenapa China berani menantang Amerika 'berperang'? Hal ini penting untuk tidak sekadar melihat 'amunisi perang' China, tetapi juga apakah Beijing tergoda juga untuk menjadi negara super power seperti yang digenggam seterusnya saat ini sejak era Perang Dingin hingga runtuhnya blok komunis pimpinan Uni Soviet (Rusia).
Sebaliknya, seperti kata Zakaria, apakah Paman Sam tetap mampu mempertahankan kedigdayaannya dari waktu ke waktu, karena memiliki 'keunggulan yang unik'? Padahal tantangan yang dihadapi Amerika sungguh nyata, sementara kondisi global saat ini berkembang makin kompleks.
Dominasi Amerika Serikat sebenarnya bukan sekadar ditantang oleh China melainkan juga oleh bangkitnya kekuatan lain yang tak dapat dipandang remeh.
Berbeda sejak runtuhnya komunisme lebih dari seperembat abad lalu. AS tampil lagi sebagai pemenang, meneruskan superioritasnya usai Perang Dunia II. Paman Sam mendominasi dunia nyaris tanpa pesaing sejati di panggung politik dan ekonomi global.
Itulah mengapa, tulis Zakaria, ide dan model yang digadang-gadangnya, yaitu Konsensus Washington diterima di mana-mana. Alhasil sistem internasional menjadi unipolar dan didefinisikan oleh satu negara saja.
Kini kita berada di era crypto currency. Era bitcoin. Era yang membesarkan Jack Ma atau Elon Musk. Yang pertama meroket di dunia e-commerce. Lainnya berambisi meroket dan membangun koloni di Mars. Ma, dengan imperium bisnis Alibaba-nya, menjadi salah satu pebisnis utama China yang juga berkilau di pasar global, termasuk di Wall Street.
Bisa jadi Jack Ma adalah 'reinkarnasi' Laksamana Cheng Ho yang mendahului para pelaut Barat dalam mengarungi lautan. Dalam pelayarannya yang pertama pada 1405, Cheng Ho membawa 317 kapal dan 28.000 awak.
Kontras dengan Columbus yang hanya membawa 4 kapal dan 150 pelaut. Sebaliknya kapal terbesar di armada China, 'Kapal Harta', memiliki panjang lebih dari 120 meter dengan sembilan tiang layar. Ini empat kali lebih panjang dari Santa Maria, kapal induk Columbus.
Kapal-kapal China dibuat dengan kayu khusus, engsel rumit, teknik kedap air canggih, dan papan lunas yang bisa digeser. Kapal Harta dilengkapi kabin-kabin mewah, layar sutera dan lorong berjendela.
Seluruhnya dirakit di galangan kering di Nanjing, kota pelabuhan sekaligus pusat galangan kapal terbesar dan termaju di dunia saat itu.
Selama tiga tahun setelah 1405, sebanyak 1.681 kapal telah dirakit atau diservis di galangan tersebut. Sebuah fasilitas yang tidak dimiliki Eropa zaman itu. "Tiongkok [China] adalah negara yang skalanya mengerdilkan Amerika Serikat," tegas Zakaria.
Dan hari-hari ini kian terbukti bahwa kebangkitan China telah mengubah lanskap politik dan ekonomi global. Si Panda makin menempatkan dirinya sebagai aktor utama panggung ekonomi dunia. Dan karena itu tak merasa nyaman bila melihat Paman Sam melenggang sendirian dan seenaknya di lima penjuru angin. Alhasil, keduanya kini bertemu di mandala yang sama, perang dagang.
Makin Sengit
Sebagaimana diketahui, perang dagang AS-China kian membara. Aksi balas saling dilancarkan.
Presiden Donald Trump pada 10 Mei lalu secara resmi menaikan tarif terhadap barang-barang China dari 10% menjadi 25% senilai US$200 miliar. Bahkan Trump juga mengancam akan melakukan kebijakan yang sama bagi barang-barang China lainnya senilai US$325 miliar.
Aksi dibalas aksi. China pun menohoknya dengan menaikan tarif barang-barang AS dari semula 10% menjadi 25% senilai US$60 miliar. Inilah laga Huawei melawan produk pertanian dari AS, basis sektor ekonomi yang menjadi pendukung utama Trump.
John Naisbitt dan istrinya, Doris, menggambarkan secara menarik kebangkitan ekonomi China yang membuat AS ketar-ketir dalam bukunya China's Megatrends. "Saat rajawali Amerika yang pernah terbang tanpa penantang di ketinggian yang mengagumkan, tengah berjuang meraih posisinya kembali, di belahan dunia lain [ada] seekor panda yang sebelumnya bersahaja, kini sangat terlatih dalam ilmu bela diri, sedang bangkit."
Jauh sebelum Perang Dagang AS lawan China, Trump versus Jinping membara, David Brooks dalam kolomnya di New York Times 4 Juli 2009 menulis bahwa Paman Sam memang sedang ditempel ketat Sang Naga. "Saat ini tidak mungkin berpikir mengenai Amerika dan peran masa depannya di dunia tanpa juga berpikir mengenai China."
Lalu siapa yang lebih powerful? Siapa yang lebih superpower?
Betapa waktu telah berubah! Pada 1978 ketika Deng Xioping, pemimpin reformasi China, baru berkuasa, Presiden Jimmy Carter diam-diam menegosiasikan hubungan diplomatik penuh antara AS dan China yang masih serba jadul setelah 30 tahun berseteru karena perbedaan ideologi.
Kini, hampir 45 tahun kemudian, Presiden Trump dan Jinping berada di sebuah rivalitas. Istilah super power tampaknya masih penting bagi mereka untuk melengkapi 'gelar kerhormatan' sebagai pihak yang berhasil mengkandaskan lawannya di medan perang.