Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyebut wacana pemindahan Ibu Kota oleh Pemerintahan Jokowi-JK hanya merupakan isapan jempol belaka karena tidak akan terealisasi, bahkan cenderung dilakukan untuk menutupi isu tertentu.
Menurutnya, wacana pemindahan Ibu Kota tersebut sudah digulirkan sejak 4-5 tahun lalu saat Jokowi menjadi Presiden RI, namun tidak pernah teralisasi sampai saat ini. Politisi Partai Gerindra tersebut mengimbau agar Presiden Jokowi tidak sebatas wacana saja untuk menghibur masyarakat.
"Nanti isu itu juga akan reda sendiri. Sudahlah itu omong kosong yang dilakukan Presiden Jokowi sejak 4-5 tahun lalu," tuturnya, Rabu (1/5/2019).
Dia menyarankan agar Presiden Jokowi memiliki persiapan dan rencana yang matang. Pasalnya, dia menilai memindahkan Ibu Kota tidak semudah membalikkan telapak tangan, butuh anggaran yang besar.
"Kalau mau memindahkan Ibu Kota, ayo duduk bersama rencanakan agar matang. Jangan cuma lontaran-lontaran saja," katanya.
Seperti diwartakan kantor berita Antara, wacana pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta memang telah bergulir lama, bahkan sejak era Presiden pertama RI Soekarno.
Simpang siur pilihan daerahnya terdiri mulai dari Jonggol di Jawa Barat, Maja di Tangerang, Banten, Palangkaraya di Kalimantan Tengah, hingga Kabupaten Mamuju di Sulawesi Barat dan kawasan di Kalimantan Timur.
Kendati tindak lanjutnya jarang terlihat masyarakat umum, namun pemerintah terus melakukan kajian di sejumlah kota.
Wacana tersebut kembali mencuat ramai ketika Presiden Joko Widodo pun memiih opsi untuk memindahkan ibu kota pemerintahan ke luar Pulau Jawa.
Dalam rapat terbatas bertopik "Tindak Lanjut Rencana Pemindahan Ibu Kota pada Senin (29/4/2019), Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro yang memaparkan kajian Bappenas mengenai pemindahan ibu kota pemerintahan menjelaskan terdapat tiga opsi pemindahan ibu kota.
Opsi yang pertama yakni ibu kota tetap berada di seputaran istana kepresidenan dan Monumen Nasional Jakarta dengan kantor pemerintahan yang berada dalam kawasan distrik. Lalu pilihan yang kedua yakni memindahkan lokasi ibu kota dari Jakarta ke daerah yang dekat dengan kawasan itu, seperti di seputaran Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Bodetabek).
Sementara pilihan yang ketiga yakni memindahkan ibu kota pemerintahan ke luar Pulau Jawa.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) itu menjelaskan sebab ibu kota pemerintahan perlu dipindah dari Jakarta yakni dikarenakan keterbatasan Jakarta untuk mendukung pengembangan ibu kota.
Sejumlah aspek yang disoroti antara lain kemacetan yang tercatat pada 2013 merugikan perekonomian dengan jumlah Rp56 triliun dan berlipat dua kali pada saat ini, banjir baik yang disebabkan hujan di hulu dan penurunan tanah di pantai utara dimana 50 persen wilayah Jakarta berkategori rawan banjir.
Selain itu, kualitas air sungai di Jakarta 96 persen berkondisi tercemar berat sehingga memiliki bahaya signifikan karena sanitasi yang buruk.
"Penurunan permukaan air tanah di utara rata-rata 7,5 cm per tahun dan tanah turun sudah sampai 60 cm pada 1989-2007 karena akan terus meningkat sampai 120 cm karena pengurasan air tanah. Sedangkan air laut naik rata-rata 4-6 cm karena perubahan iklim," ungkap Bambang menjelaskan kondisi kota Jakarta yang telah berumur 491 tahun itu.
Selain pengembangan ibu kota, upaya pemindahan itu juga harus mencerminkan Indonesiasentris dan dapat membangun kota baru serta menyebarkan perekonomian di wilayah lain Indonesia.
Simpang siur pilihan daerahnya terdiri mulai dari Jonggol di Jawa Barat, Maja di Tangerang, Banten, Palangkaraya di Kalimantan Tengah, hingga Kabupaten Mamuju di Sulawesi Barat dan kawasan di Kalimantan Timur.
Kendati tindak lanjutnya jarang terlihat masyarakat umum, namun pemerintah terus melakukan kajian di sejumlah kota.
Wacana tersebut kembali mencuat ramai ketika Presiden Joko Widodo pun memiih opsi untuk memindahkan ibu kota pemerintahan ke luar Pulau Jawa.
Dalam rapat terbatas bertopik "Tindak Lanjut Rencana Pemindahan Ibu Kota pada Senin (29/4/2019), Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro yang memaparkan kajian Bappenas mengenai pemindahan ibu kota pemerintahan menjelaskan terdapat tiga opsi pemindahan ibu kota.
Opsi yang pertama yakni ibu kota tetap berada di seputaran istana kepresidenan dan Monumen Nasional Jakarta dengan kantor pemerintahan yang berada dalam kawasan distrik. Lalu pilihan yang kedua yakni memindahkan lokasi ibu kota dari Jakarta ke daerah yang dekat dengan kawasan itu, seperti di seputaran Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Bodetabek).
Sementara pilihan yang ketiga yakni memindahkan ibu kota pemerintahan ke luar Pulau Jawa.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) itu menjelaskan sebab ibu kota pemerintahan perlu dipindah dari Jakarta yakni dikarenakan keterbatasan Jakarta untuk mendukung pengembangan ibu kota.
Sejumlah aspek yang disoroti antara lain kemacetan yang tercatat pada 2013 merugikan perekonomian dengan jumlah Rp56 triliun dan berlipat dua kali pada saat ini, banjir baik yang disebabkan hujan di hulu dan penurunan tanah di pantai utara dimana 50 persen wilayah Jakarta berkategori rawan banjir.
Selain itu, kualitas air sungai di Jakarta 96 persen berkondisi tercemar berat sehingga memiliki bahaya signifikan karena sanitasi yang buruk.
"Penurunan permukaan air tanah di utara rata-rata 7,5 cm per tahun dan tanah turun sudah sampai 60 cm pada 1989-2007 karena akan terus meningkat sampai 120 cm karena pengurasan air tanah. Sedangkan air laut naik rata-rata 4-6 cm karena perubahan iklim," ungkap Bambang menjelaskan kondisi kota Jakarta yang telah berumur 491 tahun itu.
Selain pengembangan ibu kota, upaya pemindahan itu juga harus mencerminkan Indonesiasentris dan dapat membangun kota baru serta menyebarkan perekonomian di wilayah lain Indonesia.