Bisnis.com, JAKARTA – Beberapa hari ini beredar hasil dari sejumlah exit poll Pemilu 2019 di luar negeri. Pemungutan suara bagi WNI yang ada di luar negeri dilakukan sejak 8 April hingga 14 April 2019.
Sementara itu, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terang mengatur larangan mengumumkan hasil survei atau jejak pendapat selama masa tenang, yang dimulai sejak Minggu (14/4) hingga Selasa (16/4/2019). Baik untuk Pilpres 2019 maupun Pileg 2019.
Bahkan, ada ancaman pdana kurungan maksimal 1 tahun dan denda Rp12 juta bagi orang yang mengumumkan hasil jejak pendapat selama masa tenang. Ancaman pidana itu ada di Pasal 509, dengan bunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu dalam Masa Tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Nah, apakah pengumuman hasil exit poll pemilu di luar negeri bisa dijerat dengan Pasal 509? Per definisi, exit poll dimaknai sebagai survei yang dilakukan segera setalah pemilih meninggalkan tempat pemungutan suara atau TPS.
Jika sampai pada pengertian itu saja, pengumuman exit poll di masa tenang bisa diancam dengan hukuman pidana.
Namun, belakangan Komisi Pemilihan Umum menegaskan hanya mengatur regulasi survei pemilu di dalam negeri.
Komisioner KPU Viryan Azis, pada Senin (15/4) lalu mengungkapkan bahwa exit poll yang diatur adalah yang di dalam negeri. Yaitu, hanya boleh diumumkan 2 jam setelah selesai waktu pencoblosan.
“Exit poll itu kan pendekatannya berbasis kepada regulasi dengan pengaturan waktu di dalam negeri,” kata Azis.
Metode exit poll sendiri diakui mempunyai banyak kelemahan untuk pemilu di luar negeri, karena pencoblosan tidak hanya dilakukan secara langsung di TPS, namun bisa juga lewat pos dan kotak suara keliling.