Bisnis.com, JAKARTA — Selepas Komisi Pemilihan Umum mengumumkan kembali daftar nama-nama calon legislatif mantan narapidana korupsi, Selasa (19/2/2019), beberapa pengamat menilai daftar tersebut tidak akan terlalu berpengaruh bagi pemilih maupun pada elektabilitas partai politik.
Menanggapi pendapat tersebut, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai partai baru yang dinyatakan "nihil" caleg mantan koruptor, justru memilih "cuek". Sebab, PSI mengaku telah meneguhkan komitmen bahwa memerangi korupsi bukan hanya soal elektoral.
"Saya sih belum lihat datanya. Tapi kami tidak menganggap itu sebuah hal yang patut untuk dicerna karena memang kami ingin melawan korupsi, karena melawan korupsi harus dengan sistem," ungkap Juru Bicara PSI Rian Ernest kepada Bisnis, Jumat (22/2/2019).
Dia melanjutkan korupsi adalah hal yang sistemik dan orang-orang yang sudah korupsi dinilai tidak bisa dibiarkan untuk kembali ke dunia politik.
Oleh sebab itu, Rian menyebut partainya--yang memiliki jargon anti korupsi dan anti intoleransi--telah menegaskan sejak awal tidak akan menjaring calon legislatif (caleg) eks koruptor, walaupun caleg tersebut punya modal politik yang besar.
"Bahkan, kalau saya enggak salah, beberapa partai mengakui memang caleg eks koruptor itu sumber dayanya besar, jadi mereka butuh caleg eks koruptor. Kalau kami sih tidak berpandangan demikian," tegasnya.
Rian mengungkapkan bahwa menghindari mantan koruptor untuk kembali menjadi wakil rakyat, merupakan salah satu pendekatan sistemik PSI untuk melawan korupsi. Melawan korupsi disebut sebagai sikap politik PSI seperti halnya sikap anti poligami, deregulasi rumah ibadah, atau anti Peraturan Daerah (Perda) injili dan syariah, yang memang punya konsekuensi tak terlalu ramah pada elektabilitas.
Selain itu, kader PSI pun telah terikat kontrak politik agar menjauhi perilaku korup.
"Jadi sudah ada perjanjian seluruh caleg dengan pengurus DPP. Kalau mereka baru diduga terlibat [korupsi] saja, sudah kita berhentikan dari DPR," jelasnya.
Terakhir, jika PSI lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4% suara nasional, Rian menjamin pihaknya akan mendorong regulasi yang sanggup meminimalisir sikap korup. Salah satunya, revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 1990 tentang Perjalanan Dinas Pimpinan dan Anggota DPR.
Dalam hal ini, PSI menduga kebijakan ini menjadi salah satu titik kebocoran uang rakyat. Sebab, kunjungan kerja atau perjalanan dinas di DPR hingga kini masih diberikan utuh di muka (lumpsum), tidak dengan sistem biaya riil (at cost).