Bisnis.com, BANDUNG — Asosiasi Pengusaha Indonesia Jawa Barat mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyediakan lahan dan Kawasan Ekonomi Khusus industri jika hendak mengeksekusi wacana relokasi ke kawasan timur provinsi itu.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat (Jabar) Deddy Wijaya mengatakan wacana relokasi industri di wilayah barat Jabar bukan hal baru.
“Pengusaha sebenarnya ingin pindah ke Jabar timur,” ujarnya di Bandung, Rabu (23/1/2019).
Kawasan timur yang terbentang dari mulai Subang, Majalengka, Indramayu, Cirebon, dan Kuningan disebut sudah lama diminati pengusaha karena makin kompleksnya persoalan industri di Jabar barat, terutama urusan upah yang terus naik setiap tahun.
Selain itu, pihaknya mengaku sudah meminta agar relokasi industri ditempatkan dalam kawasan khusus seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) industri agar pengusaha mendapatkan banyak kemudahan dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Gubernur Jabar Ridwan Kamil diklaim sudah bersedia membantu memberikan kemudahan.
Apindo menilai relokasi ke wilayah timur sudah memasuki momentumnya pada 2019, mengingat Bandara Kertajati sudah siap dan Pelabuhan Patimban, Subang sudah berproses.
“Ini supaya mereka di sana dengan cost lebih rendah, jadi di Jabar barat padat modal, timur padat karya,” papar Deddy.
Langkah awal relokasi akan difokuskan pada para pengusaha yang berada di wilayah aliran sungai Citarum. Menurutnya, kawasan tersebut menjadi fokus mengingat pemerintah tengah memiliki program Citarum Harum.
Emil, panggilan akrab Ridwan Kamil, disebut sudah menjanjikan proses pemindahan bakal berjalan efektif pada 2020. Di sisi lain, pengusaha, khususnya garmen dan sepatu, di kawasan tersebut sudah memiliki pemahaman yang sama untuk membantu suksesnya perbaikan Citarum.
Sementara itu, Emil mengakui makin tingginya kenaikan upah setiap tahun membuat jarak antara upah di kawasan Jabar bagian barat dan timur semakin jomplang. Pengusaha menyatakan kenaikan upah terkadang tak dibarengi pertumbuhan ekonomi baik, sehingga pengusaha di sektor padat karya kerepotan.
Dia mengaku sudah mempersiapkan peraturan tata ruang dan zonasi untuk industri di Jabar sekaligus rencana relokasi. Ridwan menunjuk Karawang dan Bekasi akan tetap menjadi zona padat modal, kemudian padat karya ke Subang dan Majalengka.
“Khususnya padat karya yang memang terbatas, tentulah nanti kita atur tata ruangnya lagi,” tutur Emil.
Dia menerangkan industri di kawasan Citarum dijadikan prioritas karena daerah tersebut dipandang sudah tak cocok lagi bagi industri, mengingat urusan limbah masih menjadi persoalan.
“Kalau pindah ke Majalengka, maka mereka akan berkumpul di komplek industri. Sehingga, Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) mereka tidak satu-satu tapi oleh fasilitas,” jelas Emil.
Relokasi disebut membutuhkan kesiapan lahan yang berada di satu kawasan agar tidak sporadis dan semrawut. Daerah Majalengka, Subang, dan Cirebon yang ditopang Pelabuhan Patimban dan Bandara Kertajati dipandang sebagai lokasi pergeseran yang tepat.
“Kalau disebut pindah itu harus ada, kan belum dimulai prosesnya. Tahun 2019 adalah tahun menyamakan persepsi,” tambahnya.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menyebutkan opsi relokasi industri di Citarum merupakan isu lama yang sudah 15 tahun berdengung tapi tidak juga terealiasi. Bahkan, saat ini, industri garmen di Jabar yang dituding sebagai pelaku pencemaran sebenarnya sudah banyak yang melakukan relokasi ke Jawa Tengah.
“Yang tersisa tinggal industri pencelupan atau printing,” ungkapnya kepada Bisnis.
Relokasi tersebut mencakup industri hulu tekstil seperti benang, permintalan, pertenunan, dan perajutan. Sementara itu, industri pencelupan tidak bisa pindah mengingat karakter di Bandung yang sulit diubah.
Ade menerangkan jika industri tak bisa pindah, maka solusinya adalah membuat IPAL komunal sesuai kapasitas perusahaan masing-masing. Hal ini dinilai bisa mengatasi persoalan limbah dalam jangka pendek.
Dia menggambarkan jika kapasitas IPAL hanya 50%, maka kapasitas produksi perusahaan pun harus mengikuti agar buangan limbah terkontrol.
“Data kami menunjukkan ada 189 perusahaan [pencelupan], tapi hanya 25% perusahaan yang punya IPAL komunal,” sebut Ade.