Bisnis.com, JAKARTA – Gunung Anak Krakatau mengalami perubahan radikal setelah erupsi beberapa waktu terakhir. Fakta yang mencolok antara lain, ketinggian sekitar 338 Mdpl kini menjadi sekitar 110 Mdpl.
Selain itu, badan gunung di sisi barat daya hilang yang diestimasi seluas 49 ha. Adapun material erupsi menumpuk di bagian barat sehingga menyebabkan daerah ini muncul ke permukaan.
Inilah Gunung Anak Krakatau (GAK) dari helicopter BNPB pada 13/1/2019, 12.31 WIB. Tubuh GAK telah banyak berubah. Saat ini tinggi GAK hanya 110 meter dari sebelumnya 338 meter. Jumlah letusan cenderung menurun. Status masih Siaga. Zona berbahaya 5 km dari puncak kawah. pic.twitter.com/1GYjjNvjTe
— Sutopo Purwo Nugroho (@Sutopo_PN) January 13, 2019
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan Perubahan morfologi Gunung Anak Krakatau yang begitu cepat. Pascalongsor bawah laut (22/12/2018) menyebabkan kawah berada di bawah permukaan laut. Namun pada 9/1/2019 bagian barat-barat daya yang sebelumnya di bawah permukaan laut, saat ini sudah di atas permukaan laut.
Sutopo juga menunjukkan hasil pantuan Gunung Anak Krakatau (GAK) dari helicopter BNPB pada 13/1/2019, 12.31 WIB.
"Tubuh GAK telah banyak berubah. Saat ini tinggi GAK hanya 110 meter dari sebelumnya 338 meter. Jumlah letusan cenderung menurun. Status masih Siaga. Zona berbahaya 5 km dari puncak kawah," jelasnya melalui akun twitter, Minggu (13/1/2019).
Meski ada perubahan signifikan, Sutopo menegaskan bahwa GAK tetap menyandang status gunung aktif.
Dr. Supartoyo Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) juga mendokumentasikan kondisi GAK, Minggu (13/1/2019). Berikut beberapa gambarnya:
Peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Zainal Arifin mengatakan zat besi tinggi yang keluar dari kawah Gunung Anak Krakatau (GAK) dan larut ke laut dapat menyuburkan perairan.
"Debu zat besi akan menyuburkan perairan karena perairan lepas pantai umumnya miskin Fe (besi)," kata Profesor Riset Bidang Pencemaran Laut tersebut yang dihubungi di Jakarta, Minggu (13/1/2019).
Dia menjelaskan, "Fe" terlarut akan dimanfaatkan oleh fitoplankton sebagai bagian proses fotosintesis.
Arus laut yang bergerak dari Selat Karimata ke Selat Sunda dan Samudra Hindia, secara teoritis akan menyuburkan perairan Samudra Hindia dengan mikroalage atau fitoplankton.
"Fitoplankton akan menjadi sumber nutrisi bagi larva-larva ikan," tambah dia dilansir Antara.
Sebelumnya beredar video tentang kondisi Gunung Anak Krakatau pascaerupsi yang diambil dari udara tersebut diunggah Earth Uncut TV.
Dalam video yang disebarluaskan kembali oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho dalam akun twitternya, tampak air laut berwarna kecoklatan di sekitar Gunung Anak Krakatau.
Sutopo melalui akun Twitter @Sutopo_PN pada Sabtu (12/1) menjelaskan warna orange kecoklatan adalah hidrosida besi (FeOH3) yang mengandung zat besi tinggi yang keluar dari kawah dan larut ke dalam air laut.