Bisnis.com, JAKARTA -- Sebagian besar pengusaha manufaktur di Inggris mengatakan Brexit akan menghambat proses pengiriman ekspor dan impor dengan potensi barang tertumpuk di perbatasan negara Uni Eropa.
Mereka juga tengah mempertimbangkan risiko lain yang dapat menganggu bisnis seperti volatilitas nilai tukar hingga kenaikan biaya input.
Berdasarkan data yang dikutip melalui Reuters pada Selasa (7/1), survei yang dilakukan oleh asosiasi manufaktur Inggris EEF dan perusahaan asuransi American International Group, Inc. (AIG) terhadap 242 perusahaan sepanjang November 2018 menunjukkan lebih dari tiga perempat pengusaha manufaktur mengatakan Brexit akan menghambat logistik dan mengganggu bisnis.
Inggris dijadwalkan akan melepaskan hubungan kerjasama hdengan Uni Eropa pada 29 Maret 2019 namun hingga saat ini belum ada kejelasan apakah wacana tersebut dapat berjalan sesuai keinginan Perdana Menteri Inggris Theresa May. Ketidakpastian ini tentu saja menimbulkan masalah bagi bisnis yang bergerak di bidang ekspor dan impor.
Nasib kebijakan May sangat bergantung pada hasil pemungutan suara di parlemen Inggris yang dijadwalkan pada 15 Januari 2019, jika berjalan sesuai rencana Brexit dapat terjadi tanpa solusi terhadap isu ekonomi dalam negeri.
Hasil survei yang disampaikan pada Senin (6/1) menunjukkan 76% anggota asosiasi EEF/AIG menilai hambatan logistik yang dapat terjadi di perbatasan Inggris dengan negara Uni Eropa sebagai risiko Brexit dapat menganggu laju bisnis.
"Perusahaan manufaktur sudah terbiasa dengan kondisi industri yang tidak selalu stabil, namun kini potensi risiko dari Brexit mulai memicu kekhawatiran dikalangan para pengusaha," ujar Chief Executive Stephen Phipson seperti dikutip Reuters.
"Hal ini [Brexit] memicu perlambatan bisnis dan risiko lainnya seperti volatilitas nilai tukar hingga kenaikan biaya input yang tidak bisa dengan mudah untuk direncanakan dalam waktu singkat," tambahnya.
Survei tersebut juga menunjukkan 62% pengusaha manufaktur akan mulai menimbun hasil produksi sebelum Brexit efektif berlangsung, kebijakan ini sempat mendongkrak produktivitas pabrik.