Bisnis.com, JAKARTA – Penolakan dari partai oposisi dalam parlemen Inggris terkait dengan rencana pelepasan diri negara monarki tersebut dari Uni Eropa memaksa Perdana Menteri Inggris Theresa May mengulur waktu hingga pemungutan suara berikutnya.
May kemungkinan akan mengundur jadwal voting di parlemen untuk menentukan keputusan Britain Exit (Brexit) kurang dari 3 bulan sebelum tenggat bagi Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa yakni pada 29 Maret 2019.
Reuters mengutip The Telegraph pada Minggu (6/1/2019) bahwa May dan timnya diyakini sedang menyusun rencana untuk mengumpulkan suara dari anggota parlemen terkait dengan kesepakatan Brexit dengan syarat atas izin Uni Eropa.
Surat kabar itu juga mengatakan bahwa langkah ini bertujuan meminimalisir porsi suara oposisi di parlemen yang menolak kebijakan May sambil mengulur waktu negosiasi dengan para petinggi organisasi supranasional negara-negara Eropa tersebut.
PM May terpaksa menunda pemungutan suara pada Desember lalu, padahal dirinya dan Uni Eropa telah mencapai kesepakatan pemisahan Inggris yang menuai kritik dari Partai Konservatif dan kelompok lain di parlemen.
Pemungutan suara dijadwalkan dilakukan selama sepekan dimulai pada 14 Januari 2019 setelah debat yang pada pekan depan.
Tenggat waktu Brexit yang semakin dekat dan ketidakmampuan PM May untuk mencapai kesepakatan dengan parlemen telah membuat para pelaku bisnis dan investor khawatir keputusan meninggalkan Uni Eropa akan merusak perekonomian negara.
Dia menegaskan peringatan terkait kemungkinan konsekuensi bagi parlemen yang menolak mendukung kebijakannya, bahwa semakin lama proses pengambilan keputusan berlangsung dikhawatirkan dapat membahayakan demokrasi Inggris.
The Sunday Times melaporkan bahwa sejumlah penyusun kebijakan, termasuk para konservatif pendukung PM May, akan mengancam pihak-pihak yang tidak mendukung kebijakan Brexit salah satunya dengan menutup anggaran dana darurat Kementerian Keuangan jika parlemen gagal mencapai kesepakatan (no-deal Brexit).
Dalam perkembangan terbaru, jumlah warga Inggris yang menginginkan tetap menjadi bagian Uni Eropa justru bertambah menurut survei yang diterbitkan pada Minggu (6/1/2019).
Survei yang dilakukan oleh YouGov menunjukkan bahwa 46% warga memilih Inggris tetap menjadi bagian Uni Eropa, 39% lainnya sepakat dengan kebijakan Brexit sementara sisanya memilih tidak tahu, tidak memilih, atau menolak untuk menjawab.
Hasil survei ini tidak jauh berbeda dari beberapa polling lainnya yang diadakan beberapa bulan terakhir yang menunjukkan pecah suara dan ada indikasi swing voters. Sebagai pengingat, hasil referendum awal pada 2016 yang menunjukkan hasil 52% banding 46% yang mengunggulkan kebijakan Brexit.
Jejak pendapat yang dilakukan dengan lebih dari 25.000 pemilih dilakukan dalam rangka kampanye People's Vote, yang secara vokal mendorong agar parlemen mengadakan referendum kedua.
PM May diketahui sangat menentang referendum kedua diadakan. Meski demikian, hasil jejak pendapat menunjukkan 41% kebijakan Brexit harus ditentukan berdasarkan suara publik dengan melakukan pemungutan suara ulang, sementara 36% lainnya mengatakan kebijakan ini merupakan ranah parlemen.