Bisnis.com, JAKARTA -- RUU Pesantren dan Sekolah Minggu dianggap kontraproduktif dan sia-sia jika dianggap bisa menjadi solusi menangkal radikalisme.
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra mengatakan pendidikan keagamaan setiap agama berbeda.
Dia mengambil contoh pesantren, di dalamnya adalah lembaga yang memiliki beberapa lembaga pendidikan formal. Misalnya sekolah dan madrasah.
"Jadi, pendidikan keagamaan apa yang mau diatur? Kalau di Islam pendidikan murni keagamaan ya sekolah sore, ada diniyah jam 4 sore. Atau juga sekolah ngaji Sabtu atau Minggu. Seperti juga Sekolah Minggu di kalangan Katolik atau Kristen," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (8/11/2018).
Azyumardi berpendapat, kedua model sekolah agama untuk anak-anak itu tidak perlu diatur oleh negara.
"Negara saya kira tidak perlu mengatur itulah. Terlalu jauh," terangnya.
Baca Juga
Dia menambahkan model Sekolah Diniyah atau Sekolah Minggu umumnya adalah untuk anak-anak kecil yang tujuannya mengajarkan kebaktian atau mengajarkan anak-anak membaca Al-Quran dan mengaji.
"Jadi anak kecil tak ada hubungannya dengan deradikalisasi. karena deradikalisasi adanya di sekolah. Di tataran lebih tinggi SMP sampai perguruan tinggi. Kalau SD belum ada. Jadi asumsi juga salah bahwa pendidikan kagamaan seperti diniyah itu perlu diatur jangan sampai kesusupan paham radikal," ungkapnya.
Azyumardi berharap pemerintah dan anggota dewan bisa menyikapi masalah radikalisme dengan produktif bukan sebaliknya.