Kabar24.com, JAKARTA — Lembaga penyelenggara pemilu diminta terus menagih komitmen peserta Pemilu Presiden 2019 untuk meninggalkan kampanye berbasis kabar bohong atau hoaks.
Penggunaan berita bohong (hoaks) untuk kampanye mengemuka setelah penyidikan kasus dugaan penyebaran berita bohong dengan tersangka Ratna Sarumpaet. Kendati belum ada bukti aktivis perempuan tersebut berbohong dengan tujuan kampanye, tetapi posisinya di tim pemenangan salah satu kontestan Pilpres 2019 tetap memunculkan anggapan itu.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengingatkan bahwa penyebaran hoaks bertentangan dengan tujuan kampanye mendidik dan bertanggung jawab. Walaupun hoaks bisa dijerat tindak pidana umum, tetapi dia memandang pengawas pemilu perlu menyelidiki berita bohong beraroma kepentingan kontestasi.
Sayangnya, menurut Ray, hoaks yang terindikasi untuk kampanye belum pernah digarap oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Seingat dia, kasus tabloid Obor Rakyat pada Pilpres 2014 pun langsung ditangani oleh Polri.
“Sehingga orang merasa hoaks itu tidak ada hubungan dengan pemilu. Padahal tentu saja praktiknya bertujuan menaikkan atau menurunkan citra para kandidat,” katanya di Jakarta seperti ditulis Minggu (7/10/2018).
Ray pun menyarankan kepada Bawaslu untuk lebih berani menggarap kasus hoaks bermotif kampanye. Pada saat yang sama, Komisi Pemilihan Umum perlu mengingatkan kepada peserta Pilpres 2019 untuk mematuhi kampanye mendidik dan bertanggung jawab.
“Panggil kedua belah pihak, tim Prabowo Subianto dan tim Joko Widodo. Elaborasi lagi kampanye mendidik dan bertanggung jawab itu,” ujarnya.
Bila tidak ada komitmen dan penindakan, Ray meyakini hoaks bermotif kampanye akan terus diproduksi oleh elit politik. Pasalnya, masyarakat Indonesia masih lebih mudah disentuh emosinya alih-alih berpikir kritis dalam menerima sebuah informasi.
“Kalau tidak melakukan itu tidak akan menang. Untuk Indonesia, yang paling mudah dinaikkan emosinya adalah mengenai agama,” tuturnya.
Sejak Kamis (4/10/2018), Ratna Sarumpaet ditetapkan Polda Metro Jaya sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana penyiaran berita bohong. Dia dijerat Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 28 jo Pasal 45 UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kasus itu bermula dari pengakuan Ratna kepada sejumlah kolega dekat dan politisi bahwa dirinya mengalami penganiayaan oleh orang tak dikenal di Bandung, Jawa Barat. Namun, selang beberapa hari kemudian dia menyatakan kepada publik bahwa penganiayaan tersebut tidak ada.
Sementara itu, tim penasihat hukum Ratna Sarumpaet mengklaim hoaks yang disebarkan perempuan kelahiran Tapanuli Utara itu bukan bermotif politik. Kepada penyidik Polda Metro Jaya, Ratna mengaku kebohongannya untuk konsumsi keluarga.
“Tapi ternyata jadi panjang begini. Saya tegaskan persoalan ini tidak ada kaitan dengan persoalan politik,” kata Insank Nasruddin, kuasa hukum Ratna, di Jakarta, Jumat (5/10/2018).
Meski demikian, Insank mengatakan Ratna menghormati proses penyidikan Polda Metro Jaya. Dia pun berharap kliennya tidak mendekam di rumah tahanan mengingat Ratna sudah berusia lanjut.