Bisnis.com, JAKARTA - Munculnya kegaduhan publik akibat fenomena berita bohong (hoaks) tidak telepas dari perilaku pejabat negara yang tidak cermat dalam memverifikasi data sebuah laporan sebelum disampaikan ke masyarakat.
Demikian dikemukakan oleh pengamat psikologi politik Hamdi Muluk dari Universitas Indonesia (UI) dalam diskusi bertajuk “Ancaman Hoaks terhadap NKRI” di Gedung DPR, Jumat (5/1/20180).
Turut jadi nara sumber pada acara diskusi itu Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon dan Anggota DPR Komarudin Watubun dari Fraksi PDIP.
Menurut Hamdi, selain harus melakukan verifikasi, seorang pejabat publik harus mencari data pembanding baik dari kalangan aparat hukum maupun media dan lembaga swadaya masyarakat sehingga tidak menjadi narasi publik.
Pernyataan pejabat negara yang tidak terverifikasi itulah yang menjadi konsumsi publik yang memang secara sosiologis menyukai narasi publik. Akibatnya, muncul kegaduhan terutama di media sosial, ujarnya.
“Pejabat publik tidak boleh mengeluarkan pernyataan yang ‘melompat’ tanpa mencari data dan fata untuk dikomentari,” ujarnya merujuk pada sejumlah pernyataan pejabat termasuk Wakil Ketua Fadli Zon dalam kasus kebohongan publik penganiayaan aktivis Ratna Sarumpaet yang akhirnya diakuinya sendiri tidak pernah terjadi.
Menurutnya, ketika terjadi kasus itu, respons yang tepat sebagai pejabat publik oleh Fadli zon adalah mendorong Ratna melaporkan kasus itu, bukan berkomentar dulu.
Sementara itu, Fadli Zon mengakui tidak menyangka apa yang didengarnya dari Ratna Sarumpaet merupakan kebohongan. Pasalnya, dalam beberapa laporan sebelumnya Ratna menunjukkan integritasnya seperti dalam melaporkan kasus penggusuran tanah.
Dia pun mengakui telah mengenal Ratna sebagai pemain tetaer sejak masih duduk di bangku SMA
“Saya juga korban hoaks dalam hal ini,” ujarnya dalam diskusi tersebut.
Hanya saja, Fadli Zon merasa heran ketika aparat kepolisian sangat cepat mendapatkan data soal kasus tersebut. Dalam waktu 24 jam polisi telah berhasil mendapatkan rekaman CCTV dan data-data pendukung lainnya.
Menurutnya, rekor itu berbeda ketika dia melaporkan sejumlah kasus yang tidak mendapatkan respons yang cepat dari aparat keamanan. Setidaknya ada enam laporan yang pernah dia buat termasuk ancaman pembunuhan atas dirinya lewat Twitter yang tidak ditindaklanjuti kepolisian.