Bisnis.com, JAKARTA – Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto menilai penggabungan seluruh lembaga penelitian dalam satu badan riset nasional bukanlah langkah yang tepat.
Unggul menilai penyatuan lembaga-lembaga itu ke dalam badan riset nasional justru berisiko membawa kerugian pada masa mendatang, karena hasil riset yang menjadi tidak tajam, dan akan memerlukan waktu yang tidak singkat untuk penyesuaian budaya kerja.
“Merger untuk budaya kerjanya saja perlu waktu lama, bisa 10 tahun," kata Unggul melalui keterangan resmi pada Rabu (12/9/2018).
Sebelumnya Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir mengemukakan pandangannya mengenai pembentukan badan riset nasional untuk mengelola kegiatan riset sedemikian rupa agar tak ada duplikasi penelitian di kementerian/lembaga dan perguruan tinggi.
Nasir mengemukakan hal itu ketika menjadi pembicara utama dalam acara wisuda lulusan Institut Teknologi Del di Toba Samosir, Sumatra Utara, pada Sabtu (8/9/2018).
Unggul mengungkapkan diperlukan optimalisasi atau lebih diberdayakannya peran institusi riset dalam mendukung kebijakan nasional.
Sebagai contoh, ujarnya, adalah peran masing-masing lembaga yang ada sekarang seperti, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang lebih mengutamakan pada riset-riset dasar, sementara itu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) lebih mengutamakan pada inovasi yang siap untuk diproduksi secara massal oleh industri nasional.
"Yang paling utama diperlukan negara dalam membangun adalah inovasi. Terkait dengan hal itu, tidak satu pun negara di dunia yang menggabung institusi riset dengan lembaga teknologi, karena karakternya berbeda," kata Unggul.
Teknologi, tambahnya, harus bermuara ke industri, beda dengan riset dasar yang outputnya jurnal. Oleh sebab itu, penggabungan seluruh lembaga penelitian dalam satu badan riset nasional dinilai tidak tepat.
"Tidaklah tepat bila LIPI sebagai lembaga penelitian sains digabung dengan BPPT sebagai lembaga pengkajian dan penerapan teknologi. Kedua-duanya diperlukan oleh negara ini, tetapi bukan berarti kemudian harus digabung menjadi satu badan riset karena DNA keduanya berbeda," ucap Unggul.
Dia menjelaskan bahwa LIPI lebih banyak menggarap penelitian sains untuk menghasilkan penemuan baru atau invensi untuk inovasi, sedangkan BPPT menghasilkan inovasi melalui proses rancang bangun atau perekayasaan tanpa melalui tahapan invensi.
Unggul menyatakan di Indonesia LIPI merupakan instansi pembina jabatan fungsional peneliti, sedangkan BPPT adalah instansi pembina jabatan fungsional perekayasa. Menyatukan keduanya, menurut dia, tidak tepat.
Dia mengaku sangat memahami maksud pembentukan badan riset nasional untuk efisiensi anggaran, tetapi dia menilai pertimbangan pembentukan lembaga semacam itu seharusnya bukan semata efisiensi anggaran. "Efisiensi anggaran bukan hanya satu-satunya pertimbangan."
Unggul memberikan masukan kalau terpaksa, mungkin bisa membuat semacam asosiasi badan riset, bukan merger atau penggabungan.
"Kalau dilebur tidak baik, yang bagus seperti di Jerman, diklasterisasi, minimal dua klaster, yakni paling hulu dan hilir," tuturnya.