Bisnis.com, JAKARTA – Ahli hukum pidana dihadirkan dalam persidangan perkara dugaan korupsi yang berkaitan dengan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim.
Ahli hukum pidana yang dihadirkan, yakni Andi Hamzah. Dia menyatakan, tidaklah masuk akal seseorang disebut memperkaya orang lain yang tidak ada hubungan keluarga atau hubungan dekat lainnya, apalagi dengan merugikan keuangan negaranya sendiri.
Andi menilai, perkara yang menempatkan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai terdakwa itu, dengan demikian tidak masuk akal.
“[Sjamsul] Nursalim ada hubungan keluarga dengan itu [Syafruddin] nggak? Tidak ada kan. Jadi untuk apa memperkaya dia. Di mana otaknya, memperkaya orang lain kemudian merugikan negaranya sendiri? Tidak masuk akal kan? [Kecuali] kalau ada suap. Nah [suap] tidak ada dalam dakwaan Syafruddin kan,” kata Andi ketika memberikan keterangan di di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (16/8/2018).
Andi yang merupakan Ketua Tim Penyusun Inter-Departemen UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor itu mempertanyakan jika seseorang dituduh memperkaya orang lain yang tidak terdapat hubungan keluarga atau hubungan dekat lainnya, lalu negaranya dirugikan.
“[Korupsi] terjadi kalau ada kickback,” kata Andi.
Terkait dengan upaya memperkaya diri sendiri, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu menjelaskan “memperkaya diri sendiri” dan “merugikan keuangan negara” sebenarnya menurut Konvensi Internasional yaitu United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) bukanlah merupakan unsur tindak pidana korupsi.
“Yang paling perlu dibuktikan adalah terdakwa melawan hukum. Yang kedua, kalau memperkaya diri sendiri, jumlahnya berapa,” jelasnya.
Lebih dalam, Andi menjelaskan perbedaan “memperkaya diri sendiri” dan “memperkaya orang lain”. Kalau “memperkaya diri sendiri” bisa dilakukan sendirian atau bersama-sama (turut serta/medepleger); “memperkaya orang lain” mesti ada motifnya.
“Apa dia tantenya diperkaya, atau teman dekatnya, atau pamannya, atau kemenakannya, atau anaknya. Tapi kalau orang lain sama sekali yang diperkaya tidak masuk akal. Mana ada manusia, pejabat, mau memperkaya orang lain dengan merugikan negara dan bukan keluarganya itu orang, untuk apa? Jadi dalam hal itu kalau memperkaya orang lain yang tidak ada hubungan keluarga sama sekali itu mestinya menurut saya berkaitan dengan kickback. Dia berbuat itu karena ada kickback,” papar Andi.
Berikutnya, kata Andi, berkaitan dengan Pasal 3 UU Tipikor yang mencantumkan kalimat “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” itu termasuk kategori perbuatan sengaja tingkat satu.
Artinya, harus dibuktikan ada kesengajaan sebagai maksud. Karena ada kata-kata “dengan tujuan”. Semua pasal undang-undang pidana yang ada kata “tujuan”, “dengan maksud”, itu artinya sengaja.
“Jadi perlu ditekankan bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 itu perbuatan sengaja. Tidak bisa kelalaian, tidak bisa pengabaian, memperkaya artinya sengaja,” ujarnya.
Sebagai catatan, dalam dakwaan terhadap Syafruddin memang sama sekali tidak tercantum mengenai suap atau kickback (pemberian balik).
Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor yang intinya antara lain tindak pidana berkaitan dengan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang merugikan keuangan negara.
Persoalan pokok lain yang dikemukakan oleh Andi adalah mengenai dakwaan bersama-sama melakukan perbuatan korupsi yang dituduhkan terhadap Syafruddin. Apalagi, saat ini Syafruddin hanya seorang diri diajukan sebagai terdakwa di pengadilan. Padahal, dalam surat dakwaan jaksa yang dibacakan pada 14 Mei 2018, jelas tercantum nama-nama lain yang didakwa merugikan negara hingga Rp4,58 triliun.
“Bahwa terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua BPPN pada periode 2002-2004 bersama-sama Dorojatun Kuntjara-jakti, Sjamsul Nursalim, dan Itjih Nursalim pada sekitar tanggal 21 Oktober 2003, 29 Oktober 2003, tanggal 13 Februari 2004, tanggal 26 April 2004 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2003 dan tahun 2004 telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan, secara melawan hukum,” demikian isi dakwaan jaksa.
Andi berkata, di situlah akar munculnya ketidakadilan di Indonesia yang nyata sekali. “Karena orang dituduh turut serta bersama-sama melakukan tindak pidana tapi yang satu dihukum yang lain tidak,” ujarnya.
Seharusnya, kata Andi, dalam perkara “bersama-sama” seperti itu, berkasnya tidak boleh dipisah.
“Jadi saya berpendapat kalau medepleger (turut serta/bersama-sama) itu harus disidang serentak. Bisa terjadi ketidakadilan (kalau dipisah). Putusannya bisa berbeda. Hakimnya beda nanti, waktunya berbeda, jaksanya berbeda, penasihat hukumnya berbeda,” katanya.