Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemilihan Umum membutuhkan tambahan anggaran ratusan miliar rupiah untuk mengongkosi pembengkakan personalia lembaga penyelenggara pemilu di kabupaten/kota dan kecamatan.
Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No. 31/PUU-XVI/2018 mengembalikan formasi anggota KPU kabupaten/kota seluruh Indonesia menjadi 5 orang. Selain itu, MK memerintahkan kuota panitia pemilihan kecamatan (PPK) kembali berjumlah 5 orang.
Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengakui penambahan komisioner KPU kabupaten/kota dan PPK membuat anggaran tahunan lembaganya membengkak. Untuk itu, Biro Keuangan KPU akan mengkalkulasi ulang proyeksi kebutuhan biaya guna mengongkosi tambahan personalia di daerah.
“Saya lupa angkanya, tapi tak sampai Rp1 triliun. Kisaran ratusan miliar rupiah,” katanya usai sidang sengketa hasil pilkada di Jakarta, Kamis (26/7/2018).
Pramono tidak memberikan penjelasan kapan anggaran tambahan diperlukan. Saat ini, kata dia, KPU masih mengkaji mekanisme pengisian dua komisioner kabupaten/kota yang telah berisi tiga anggota. Adapun, rekrutmen PPK tambahan tidak dilakukan pada 2018 mengingat penyelenggaraan pemilu sampai akhir tahun tidak terlalu berat.
“Kemungkinan penambahannya Januari 2019. Mulai Januari kan persiapan logistik. Nah itu butuh tenaga,” ujarnya.
Putusan MK No. 31/PUU-XVI/2018 mengembalikan pengisian formasi penyelenggara pemilu di kabupaten/kota dan kecamatan sebagaimana pengaturan UU No. 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Dalam beleid itu, KPU di daerah tingkat II dan PPK berjumlah 5 orang.
Lantas, perubahan terjadi dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu mencantumkan jumlah anggota KPU kabupaten/kota menjadi 3-5 orang—sesuai jumlah penduduk. Adapun, PPK berjumlah 3 orang tercantum Pasal 52 ayat (1) UU Pemilu.
Kedua pasal itu kemudian dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat oleh MK. Salah satu alasannya, tahun depan pemilu berjalan serentak sehingga beban kerja para penyelenggara pemilu bertambah.
Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan penentuan komposisi keanggotaan KPU mesti didasarkan ukuran-ukuran profesionalitas baik dari aspek kualitas maupun kuantitas. Karena itu, pertimbangan anggaran untuk memangkas jumlah komisioner tidak dapat dibenarkan bila mengancam asas-asas pemilu.
Lagipula, tambah Saldi, penentuan jumlah anggota KPU kabupaten dan kota harus mempertimbangkan rancang-bangun manajemen penyelenggaraan pemilu yang rasional, terukur, dan menjamin pemenuhan prinsip kedaulatan rakyat. Tahapan pelaksanaan pemilu meliputi pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye, pemungutan suara, hingga pelantikan pemenang pemilihan.
“Dengan semua tahapan tersebut, penyelenggara di tingkat kabupaten dan kota jelas menjadi level paling banyak memerlukan sumber daya manusia,” katanya saat membacakan pertimbangan Putusan MK No. 31/PUU-XVI/2018 di Jakarta, Senin (23/7/2018).
Saldi mengakui bahwa jumlah personal KPU merupakan kebijakan hukum terbuka pembuat UU. Namun, dalam kasus pemangkasan anggota KPU lewat keberadaan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu, MK dapat membatalkannya secara bersyarat sepanjang tidak melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang dapat ditoleransi.
Permohonan uji materi pasal-pasal dalam UU Pemilu tersebut dilayangkan oleh perorangan a.l. Komisioner KPU Kabupaten Bogor Erik Fitriadi dan Komisioner KPU Kabupaten Karawang Miftah Farid.