Bisnis.com, JAKARTA -- Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam penyelenggaraan Pilkada atau pun Pemilu Presiden bukan hal baru dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Menurut Komisioner Aparatur Sipil Negara (KASN) Profesor Prijono Tjiptoherijanto, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) sudah diminta pada era Orde Baru dengan adanya UU No. 8 tahun 1974 tentang netralitas kepegawaian negara, yang merupakan undang-undang kepegawaian pertama.
Sebelum Orde Baru (Orde Lama), terang Prijono, pegawai negeri tidak masuk ke dalam partai politik, melainkan menjadi simpatisan dari partai politik.
"Contohnya di Kementerian yang sekarang dikenal dengan P & K (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), itu kalau nggak simpatisan PNI (Partai Nasional Indonesia) nggak bakalan bisa mendapatkan jabatan. Di Kementerian Perhubungan, itu kalau bukan simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) juga nggak akan bisa mendapatkan kenaikan pangkat," terangnya dalam acara bertajuk Netralitas Aparatur Negara (Polri, TNI, dan ASN) dalam Pilkada dan Pilpres yang diselenggarakan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) di Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa (8/5/2018).
"Dia netral, dia bukan anggota, tapi dia simpatisan," lanjut Prijono.
Terkait dengan masalah sanksi bagi ASN yang melanggar netralitas pada Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu Presidan 2019, Prijono berpandangan sejatinya pelaku pelanggaran masih dapat mengajukan banding atas sanksi yang dijatuhkan melalui Badan Pertimbangan Kepegawaian (BPK).
Baca Juga
"Kalau dari kami (Komisi Aparatus Sipil Negara) hanya bisa memberikan rekomendasi," tambahnya.
Prijono pun mengakui terkadang masih ada subjektivitas dalam menentukan tingkatan sanksi bagi pegawai negeri.
Di sisi lain, Prijono mengatakan pelanggaran disiplin yang menyebabkan anggota ASN mendapatkan sanksi tidak terlepas dari budaya Pilkada atau Pemilu yang kerap menjebak pegawai negeri sipil.
"Karena terus terang saja Pilkada itu menyebabkan adanya balas dendam dan balas jasa. Kalau mau ikut (terlibat kampanye) dapat balas jasa, kalau nggak mau ikut (terlibat kampanye) dapat balas dendam, " ujarnya.