Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Presiden Jusuf Kalla membuka acara Stunting Summit 2018 di Hotel Borobudur Jakarta. Dalam kesempatan itu dia mengutarakan bahwa masalah stunting atau kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi kronis harus diatasi dengan keterlibatan semua pihak termasuk ulama.
Menurutnya, masalah stunting adalah lingkaran setan di mana kemiskinan menyebabkan kondisi kurang gizi. Kurangnya gizi pada masyarakat miskin pun cenderung mengarah pada ketidakcerdasan. Masyarakat yang tidak cerdas pun mengarah kembali kepada kemiskinan.
Di sisi lain, kata dia, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan akan kesulitan dalam menyelesaikan masalah ini tanpa bantuan semua pihak. Adapun organisasi keagamaan mapun tokoh agama cenderung didengar oleh masyarakat dalam pembentukan wacana dan opini.
“Nanti saya bilangin Ustaz Abdul Somad bicara stunting. Karena, kadang-kadang ulama, pendeta lebih didengar daripada petugas kesehatan. Ulama bilang fardhu [wajib], sunnah, beda dibanding Kepala Bappenas yang bicara," kata JK sambil disambu tawa dan tepuk tangan hadirin yang hadir, Rabu (28/3/2018).
Dalam acara yang dihadiri Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro tersebut, dirilis pula data terkait masalah stunting hingga 2017. Sebaran balita stunting terbanyak ada di Jawa dengan jumlah hingga 4,35 juta jiwa.
Disusul kemudian Sumatra sebanyak 2,29 juta jiwa. Di pulau-pulau besar lainnya, jumlahnya mencapai ratusan ribu jiwa. Anak dengan kondisi stunting cenderung memiliki tingkat intelegensia yang rendah.
Pada usia produktif, individu yang pada balita dalam kondisi stunting berpenghasilan 20% lebih rendah. Kerugian negara akibat stunting mencapai sekitar Rp300 triliun per tahun. Stunting pun dapat menurunkan produk domestic bruto negara sebesar 3%.
Jusuf Kalla atau JK pun sempat menyinggung mengatasi masalah stunting. Dia mencontohkan, pada zaman Orde Baru pemerintah menggalakan program pembagian susu dan bubur kacang hijau gratis.
“Jadi banyak program pemerintah dahulu yang baguas tapi berkurang setelah reformasi. Oleh karena itu program kesehatan melalui PKK kembali dihidupkan, posyandu harus lebih aktif, program penanaman apotek hidup juga,” ujarnya.