Kabar24.com, MALANG—Pemkot Malang membebaskan pungutan pajak hiburan untuk kegiatan seni dan budaya tradisional sebagai bentuk pemihakan atas pengembangan budaya dan kearifan lokal.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Malang, Ida Ayu Made Wahyuni mengatakan eksistensi para seniman lokal perlu diperhatikan.
“Seniman lokal, termasuk di Kota Malang, hidupnya memang pas-pasan,maka perlu pengecualian terkait dengan pemberlakuan pajak hiburan,” ujarnya di Malang, Rabu (28/2/2018).
Namun untuk penyelenggara hiburan tersebut tetap harus mengurus perizinan dan menginformasikan kepada dinas terkait sehingga pemda mengetahui kegiayan seperti apa.
Jika kegiatan di gedung mewah dan ditiketkan, tetap kita tarik pajak sesuai ketentuan, namun jika penyelenggaraan di gedung tidak mewah seperti di Gedung Gajayana, maka bisa digratiskan. Bahkan Pemkot Malang sering membantu dana untuk suksesnya kegiatan tersebut.
Kepala Badan Pelayanan Pajak Daerah (BP2D) Kota Malang, Ade Herawanto menegaskan, dalam upaya melestarikan seni lokal dan budaya tradisional, maka perda tentang pajak hiburan sudah memasukkan unsur-unsur pembinaan yang bersifat stimulus, yakni untuk hiburan kesenian tradisional daerah, seperti tari-tarian, ketoprak, ludruk dan lain-lain tidak dipungut pajak.
Hal itu sebagai bentuk perhatian dan dukungan riil Pemkot Malang akan eksistensi seni lokal dan budaya tradisional beserta para penggiatnya.
“Maka salah besar jika kemudian muncul asumsi yang menyebut bahwa pemerintah daerah seolah ingin mematikan eksistensi penggiat seni dan budaya tradisional lewat pungutan pajak hiburan,” ucapnya.
Namun untuk kegiatan seni dan budaya yang komesial biasa, maka sesuai amanah undang-undang bahwa azas pajak adalah bersifat adil dan memaksa.
Implementasi kata adil a.l tetap memberi kemudahan dan keringanan bagi Wajib Pajak yang tidak mampu, miskin, atau bangkrut. Mereka yang keberatan ini bisa mengajukan keringanan tertulis sebelum mengadakan kegiatan jasa hiburan dan ketentuannya sudah diatur dalam Perda.
Sifat memaksa, yakni petugas tetap memungut pajak karena konsekwensi dari menjalankan undang-undang, Pelanggaran terhadap undang-undang pajak adalah pidana dan harus siap mempertanggungjawabkannya di depan penegak hukum dan bahkan bisa dianggap merugikan negara.
“Selaku aparat pajak yang notabene juga bagian dari staf Pemkot Malang, maka kami harus tetap bersikap obyektif, fairplay dan bekerja sesuai prosedur serta aturan yang berlaku tanpa terpengaruh oleh situasi politik,”ucapnya.
Meski begitu, semuaa kritik, masukan, saran dan keluhan masyarakat dari golongan apapun akan ditampung dan dikaji demi perbaikan-perbaikan ke depan. Baik dari aspek regulasi ataupun pelaksanaan pelayanan masyarakat di bidang perpajakan ke depannya.
Apalagi saat ini pihak eksekutif dan legislatif Kota Malang juga sedang mematangkan revisi berbagai regulasi daerah seperti Perda dan Peraturan Walikota (Perwal).
“Dalam kesempatan ini, saya mewakili seluruh petugas pajak BP2D dan juga atas nama Pemerintah Kota Malang minta maaf kepada para musisi, seniman, budayawan ataupun event organiser serta pengusaha cafe, pub dan bar jika ada ketidaknyamanan pada saat ditagih kewajiban pajaknya,” ujarnya.
Namun karena hal itu sudah merupakan kewajiban tiap warga negara yang baik, maka kami yakin apabila ada permasalahan tentang pembayaran pajak, semua akan bisa diselesaikan secara normatif dan baik-baik dengan mengacu pada aturan dan mekanisme yang berlaku.
Sekretaris Daerah Kota Malang Wasto menegaskan penerapan pajak hiburan sebesar minimal 15% sudah mengacu peraturan perundang-undangan yang berlaku sejak tahun 2009 dengan diundangkannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kemudian dijabarkan dalam Peraturan Daerah (Perda) No 2 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Perda No 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah.
“Aturan ini tidak hanya berlaku di Kota Malang, tapi juga di seluruh kota dan kabupaten se-Indonesia,” ujarnyha.
Ketua DPRD Kota Malang Abdul Hakim menambahkan bahwa semua regulasi sudah dijalankan Pemkot Malang mengacu peraturan dan undang-undang yang ada.
“Regulasinya ada. Jadi berjalan sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pajak ini kan nantinya kembali untuk pembangunan daerah dan kesejahteraan warga Kota Malang,” ucapnya.
Pernyataan-pernyataan tersebut merespon tudingan miring dan keluhan masyarakat dalam forum bertajuk ‘Kebijakan Pajak Hiburan dan Tontonan untuk Perkembangan Komunitas Musik Kota Malang’ oleh Malang Musik Bersatu (MMB) dengan menghadirkan seniman, komunitas dan pemerhati musik serta pegiat event organizier di Museum Musik Indonesia (MMI) Gedung Gajayana Malang, Senin (26/2) malam yang menyebut bahwa pungutan pajak hiburan memberatkan pelaku di industri tersebut.