Bisnis.com, JAKARTA – Setiap profesi tidak akan bisa dipisahkan dari dunia pendidikan, begitu pun dengan wartawan. Di tengah momentum Hari Pers Nasional 2018 padaJumat (9/2/2018), bagaimana akademisi memandang kondisi dunia pers sekarang?
Bisnis berkesempatan mewawancarai Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Dadang Rahmat Hidayat – yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) – melalui sambungan telepon untuk mengetahui sedikit perspektifnya terhadap pers saat ini. Berikut kutipannya:
Bagaimana Anda melihat pers sekarang?
Jika dilihat dari berbagai sudut pandang, pers dalam arti sebagai sebuah ideologi – di mana pers itu menjunjung kebenaran, independensi, dan kepentingan publik – sekarang ini sebagaian sudah bergeser. Jadi, tidak lagi terjadi pada area-area yang seperti itu. Misalnya, pers menjadi bagian yang sudah sangat tidak terpisahkan dari bisnis. Pers sebagian sudah menjadi bagian yang sudah tidak terpisahkan dari dunia politik.
Apa artinya?
Independensi beberapa media ini, kalau bahasa saya, [dapat] ‘lampu kuning’ lah. Artinya, kalau pers seharusnya bicara untuk kepentingan publik dan independensi, [saat ini] justru bicara untuk kepentingan tertentu. Dari sudut pandang komunitasnya pers sendiri, seharusnya melakukan reorientasi lagi. Jangan sampai pers itu disorientasi.
Nyatanya ini selalu dikaitkan dengan keberlangsungan usaha media. Bagaimana menurut Anda?
Memang, kalau kita bicara bahwa pers yang sehat, harus mempunyai manajemen, relasi ekonomi, dan relasi politik yang baik. Saya pikir itu memang harus, tapi bisa membedakan mana pers sebagai alat kepentingan publik dengan pers sebagai sarana bisnis. Harus bisa seperti itu.
Bagaimana pendapat Anda terkait efek perkembangan teknologi?
Bagaimana pun memang sudah mulai munculnya berbagai varian, seperti jurnalisme warga. Kemudian ini menjadi makin saru, kalau saya bilang, dengan munculnya berbagai platform media. Sekarang, sumber dari sebuah informasi itu sangat beragam. Hal inilah yang kemudian membuat orang bertanya-tanya mana informasi benar dan tidak jelas. Selain itu [pertanyaan] juga muncul terkait apakah pers itu menjadi bagian yang bisa dipercaya? Harusnya kan begiti [bisa dipercaya].
Kalau dahulu, ada yang namanya media mainstream dan media alternatif. Sebenarnya, media alternatif itu antara lain terkait citizen journalism, media-media komunitas, atau bahkan yang muncul di media-media online, media-media bawah tanah. Namun, sekarang ini media mainstream-nya sudah berubah. Ini karena media sosial lah yang sekarang menjadi media mainstream. Bisa jadi, media alternatif itu [sekarang ini] yang dahulu dianggap sebagai media mainstream, konvensional.
Apakah artinya media konvensional sekarang hanya menjadi tempat konfirmasi?
Ya sekarang [masyarakat] nyarinya media sosial dulu. Dapatnya informasi dari whatsapp, facebook, atau media sosial lain. Lalu baru tanya, di media [konvensional], di koran seperti apa ya? Namun, ini kemudian menjadi menarik pada saat bicara soal integritas dan kebenaran dari sebuah berita. Sehingga, orang mengatakan lakukanlah konfirmasi kepada media konvensional, kepada media mainstream. Jadi kebayang enggak, media mainstream itu sebagai alat konfirmasi. Inilah yang saya pikir harus dijadikan dasar untuk kita melakukan reorientasi.
Apakah semua kondisi terkini tersebut sudah diadopsi dalam konteks pembelajaran di dunia pendidikan?
Memang dunia pendidikan baik duhulu maupun sekarang tidak boleh terlepas dari realitas yang terjadi di dunia praktis. Ini berkaitan dengan banyak hal, baik model bisnis, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, bahkan dalam konteks relasi-relasi kuasa dari media. Itu harus menjadi bagian “pembelajaran kepada mahasiswa”. Namun, kita harus memperkuatnya, mengembangkannya, dan meresponsnya melalui pengembangan-pengembangan riset.
Apa yang terjadi di luar itu bisa dimasukkan ke dalam kurikulum dan bisa dikembangkan ke dalam pembelajaran melalui sebuah riset. Dia tidak boleh memisahkan. Jangan hanya sekadar “Wah, ketinggalan nih kampus”. Kemudian, begitu diadopsi, ternyata enggak cocok, berubah lagi di luar. Oleh karena itu, yang sifatnya prinsip-prinsip kajian-kajian jurnalisme, pendidikan jurnalisme tetap menjadi roh yang tidak boleh dihilang.
Namun, cara pembelajaran dan sarana prasarana pembelajaran, termasuk networking learning akan kita kolaborasikan. Ini pembelajaran yang tidak bisa hanya [dari] kalangan akademisi. Artinya, kalau lah dunia industri membutuhkan lulusan yang siap pakai maka industri itu harus ikut bertanggung jawab, baik langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas lulusan sebuah perguruan tinggi.
Apakah bisa dikatakan kontribusi industri tetap krusial?
Iya, jangan hanya bilang “Wah ini enggak siap pakai, enggak berkualitas”, tanpa adanya kemauan industri untuk berinvestasi dalam pendidikan jurnalisme. Di beberapa negara maju, sudah ada kolaborasi seperti itu sehingga kampus itu cukup mumpuni sebagai sarana lulusan-lulusan jurnalistik yang memang "siap pakai".
Walaupun, pendidikan kan tidak harus diabdikan kepada industri saja. Lulusan [Pendidikan] Jurnalistik kan bisa saja dia bekerja di bidang-bidang lain, yang bukan di dunia industri. Namun, bagaimana kontribusi dari dunia industri ini supaya kualitas pendidikannya menjadi lebih terhubung dan bisa diterima. Artinya, tidak hanya sekadar lihat dari jauh, melainkan mau urun rembug meningkatkan kapasitas, kapabilitas, dan kualitas dari pendidikan itu sendiri. Jadi, kolaborasi antara pers dan pendidikan harus tercipta.