Kabar24.com, JAKARTA- Operasi tangkap tangan di Jombang membuktikan terjadi penyimpangan atau fraud terhadap peruntukan dana kapitasi BPJS Kesehatan yang bersumber dari APBN.
Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri mengatakan bahwa berdasarkan kajian yang pernah dilakukan lembaga tersebut, dana kapitasi yang digelontorkan ke Puskesmas sering disetorkan kepada pejabat yang lebih tinggi seperti Kepala Dinas Kesehatan maupun ke Bupati atau Walikota.
“Tidak semua dana kapitasi habis digunakan oleh Puskesmas tapi justru disetor ke pejabat yang lebih tinggi,” katanya, Minggu (4/2/2018).
Dia mencontohkan, karena ada target setoran dana kapitasi dari pejabat yang lebih tinggi, biasanya Puskesmas hanya menggunakan setengah atau kurang dari setengah dana itu untuk kepentingan melayani pengobatan pasien peserta BPJS Kesehatan.
Sisa dari dana itulah yang akan disetorkan ke struktur yang lebih tinggi.
“Idealnya, sisa dana kapitasi yang tidak terpakai habis bisa digunakan untuk kepentingan Puskesmas seperti medical fee dan lain-lain,” tambahnya.
Baca Juga
Lantaran ditarget harus menyetor, ICW menemukan seringkali pihak Puskesmas tidak melayani pasien peserta BPJS Kesehatan dengan baik misalkan langsung memberikan rujukan ke fasilitas kesehatan lanjutan. Hal ini, menurutnya dilakukan agar margin dana kapitasi tetap terjaga sehingga bisa disetorkan.
Menurutnya, BPJS Kesehatan tidak memiliki struktur atau instrumen untuk mengawasi dan memberikan hukuman Puskesmas. Yang bisa dilakukan oleh pelennggara jaminan sosial itu adalah mengukur kinerja Puskesmas berdasarkan dana kapitasi yang diperoleh.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhamad Syarif mengatakan berdasarkan kajian lembaga itu pada 2015, efektivitas dana kapitasi terhadap mutu pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) masih rendah.
Padahal, setiap tahun negara mengucurkan Rp8 triliun dana kapitasi tersebut.
“Hal ini dikarenakan tidak adanya insturmen pengawas dan pengendali dana kapitasi,” pungkasnya.
Seperti diberitakan, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko diduga menerima gratifikasi terkait mutasi jabatan dan sebagian uang haram itu digunakan untuk persiapan kampanye pilkada.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhamad Syarif mengatakan bahwa Nyono Suharli menerima uang dari Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Inna Sulistyowati sebesar Rp275 juta agar ditetapkan sebagai Kepala Dinas Kesehatan definitif.
“Perinciannya, Rp200 juta diberikan pada Desember 2017 dan Rp75 juta diberikan 1 Februari 2018. dari jumlah itu, Rp50 juta telah digunakan untuk membayar iklan terkait pencalonannya dalam Pilkada 2018,” ujarnya, Minggu (4/2/3018).
Dia melanjutkan, uang yang diberikan oleh Inna Sulistyowati diperoleh dari pungutan dana kapitasi fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) 34 pusat kesehatan masyarakat se-Jombang sejak Juni 2017 yang jumlahnya mencapai Rp434 juta.
Adapun dana kapitasi merupakan anggaran yang digelontorkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kepada FKTP untuk melayani para peserta program jaminan sosial. Setiap tahun setidaknya ada Rp8 triliun yang digelontorkan dan rerata setiap Puskesmas menerima dana kapitas sebesar Rp400 juta untuk setahun.
Menurut Laode, dana-dana tersebut kemudian didistribusikan dengan perincian 1% untuk Paguyuban Puskesmas se-Jombang, 1% untuk Kepala Dinas Kesehatan, serta 5% untuk Bupati Jombang Nyono Suharlo Wihandoko.
Selain dari dana kapitasi, Inna diduga melakkan pungutan liat terkait izin operasional sebuah rumah sakit swasta. Uang sebesar Rp75 juta tersebut yang dia serahkan kepada Bupati Jombang pada 1 Februari 2018.
Atas upaya korupsi yang dilakukan oleh Nyono dan Inna, KPK menetapkan mereka sebagai tersangka. Sebagai penerima, bupati dijerat dengan Pasal 12 a atau b atau Pasal 11 Undang-undang (UU) No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diperbaharui dalam UU No.20/2001.
Sementara itu, Inna, sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diperbaharui dalam UU No.20/2001.