Bisnis.com, JAKARTA — Setelah mengalami kebangkitan sejak tahun lalu, harga komoditas global berpotensi tertekan kembali jika Amerika Serikat (AS) merealisasikan sanksinya di sektor perdagangan terhadap China.
Seperti diketahui, pekan depan akan menjadi batas akhir bagi Presiden AS Donald Trump untuk mengumumkan sanksinya terhadap China di sektor perdagangan. Para analis pun memprediksi, produk impor AS dari China seperti aluminium dan baja akan dijadikan obyek pengenaan sanksi berupa kenaikan bea masuk.
Produk aluminium dari China tercatat, menyumbang 31% impor logam dari luar negeri dalam bentuk setengah jadi di AS. Trump sendiri dikabarkan tengah mempertimbangkan studi yang diajukan oleh Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross untuk menaikkan tarif masuk produk tersebut.
“Pekan depan Trump berpotensi mengumumkan rencananya untuk menaikkan tarif impor aluminiumnya. Tetapi dia harus memahami, bahwa kebijakan itu akan berdampak pada kenaikan harga produk berbahan aluminium yang dijual kepada orang AS,” tulis Goldman Sachs, dalam risetnya, seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (26/1).
Adapun, impor baja dari China juga berpotensi dinaikkan tarif masukknya oleh AS. Tercatat, impor baja secara keseluruhan mencapai 32 juta ton dalam sebelas bulan terakhir.
Namun, Negeri Panda yang merupakan produsen baja terbesar di dunia, rupanya bukanlah eksportir utama ke Paman Sam. Pasokan terbesar ke AS selama ini didominasi dari Kanada, Korea Selatan dan Brazil.
“Kenaikan tarif impor baja mungkin berdampak terbatas bagi pasar global. Sebaliknya justru membuat harga produk itu di AS meningkat tajam,”kata Tomas Gutierrez, analis di Kallanish Commodity.
Namun, lanjut Gutierrez, sikap AS tersebut justru akan memicu aksi balasan dari negara lain seperti Korsel, Brazil dan Kanada hingga China. Menurutnya, sikap sentimentil dari Washington itu akan memicu perang dagang baru.
Para pejabat di Beijing berpotensi membalas aksi AS tersebut dengan menaikkan tarif impor produk kedelai dari Paman Sam. Seperti diketahui, AS menjual komditas pangan tersebut ke Asia senilai US$13,9 miliar ke Asia pada 2017. China dalam hal ini adalah konsumen terbesarnya.
Langkah tersebut diprediksi akan membuat petani kedelai di AS kelimpungan. Pasalnya, Pemerintah China bisa saja mengalihkan permintaannya pada produk tersebut ke Brazil dan Argentina sebagai salah satu hukuman balasan ke AS.
Balasan lain dari Beijing kepada Washington berpeluang muncul dari pembelian shale oil yang diproduksi AS. Impor minyak jenis tersebut oleh China tercatan naik hampir 1.500% pada 2017 dengan niali pembelian US$3,2 miliar.
Gutierrez menilai, China bisa saja menghentikan impor produk asal AS tersebut, dan mengalihkan permintaannya minyak buminya ke Rusia, Angola atau Arab Saudi. Alhasil, kelebihan pasokan global pada produk shale oil berpeluang terjadi. (Bloomberg/Yustinus Andri)