Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kasus BLBI: Boediono Beberkan Semua ke Penyidik

Mantan Wakil Presiden Boediono mengkau membeberkan semua informasi terkait penerbitan surat keterangan lunas BLBI kepada obligor Sjamsul Nursalim kepada KPK.
Mantan Wapres Boeidiono/Antara
Mantan Wapres Boeidiono/Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Mantan Wakil Presiden Boediono mengkau membeberkan semua informasi terkait  penerbitan surat keterangan lunas BLBI kepada obligor Sjamsul Nursalim kepada KPK.

Ditemui seusai menjalani pemeriksaan sebagai saksi di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (28/12/2017), Boediono mengatakan dia ditanyai mengenai tugas pokoknya sebagai Menteri Keuangan di penghujung masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri.

“Saya dimintai keterangan mengenai beberapa hal yang terkait dengan masa jabatan saya sebagai Menteri Keuangan,” tuturnya.

Dia juga mengaku  menjelaskan berbagai informasi kepada penyidik KPK terkait proses penerbitan surat keterangan lunas (SKL) BLBI kepada Sjamsul Nursalim, pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

“Substansi pemeriksaan saya serahkan kepada KPK untuk menyampaikan mana yang bisa disampaikan mana yang tidak,” tambahnya.

Seperti diketahui, jabatan Menteri Keuangan merupakan salah satu anggota Komite Kebijakan Sistem Keuangan (KKSK), lembaga yang memberikan izin kepada Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung untuk meneritkan SKL kepada Sjamsul Nursalim.

Berdasarkan catata Bisnis, pada 11 Februari 2004, dalam sidang kabinet terbatas, Syafruddin Temenggung melaporkan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri bahwa utang petani tambak besarnya adalah Rp3,9 triliun, hutang yang bisa dibayar  Rp1,1 triliun dan sisanya Rp2,8 triliun diusulkan untuk di-write off. Pada alinea ke-26 --dalam laporannya-- disampaikan olehnya  di BPPN write off-nya memungkinkan untuk dilakukan penghapusan pembukuan.

Permohonan tersebut nampaknya bertentangan dengan Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri selaku Ketua KKSK 20 Januari 2000 yang ditandatangani oleh Kwik Kian Gie dan pada intinya menyatakan bila jumlah aset dan/atau uang tunai yang diserahkan tidak cukup untuk menyelesaikan jumlah hutang yang tertunggak,  akan dilakukan penghapus bukuan atas jumlah utang yang masih tersisa dengan pedoman tidak terdapat ketidakwajaran serta debitur dan pemberi paminan telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membayar kewajiban utangnya.

Sehari setelah rapat terbatas, Syafruddin kemudian mengirimkan surat kepada KKSK yang mirip dengan surat 19 Januari dengan tambahan keterangan penghapusan porsi uang sustainable Rp2,8 triliun sesuai sidang kabinet terbatas sehari sebelumnya. Padahal faktanya tidak ada keputusan Presiden terkait penyelesaian utang petambak plasma Dipasena yang diusulkan oleh Temenggung dalam rapat tersebut.

Berpedoman pada laporan eksekutif BPPN tersebut, pada 13 Februari 2004 KKSK mengeluakran surat keputusan yang pada angka 3 poin a, nilai hutang masing-masing petambak plasma ditetapkan  setinggi-tingginya  Rp.100 juta. Dengan penetapan nilai hutang maksimal tersebut,  dilakukan penghapusan atas sebagian hutang pokok secara proporsional sesuai beban utang masing-masing petambak plasma dan penghapusan seluruh tunggakan bunga serta denda. Angka kewajiban baru berdasarkan kebijakan ini diverifikasi/ditetapkan oleh BPPN.

Sementara itu, pada poin e, dengan adanya keputusan penanganan penyelesaian kewajiban debitur petambak plasma PT. DCD tersebut di atas maka keputusan-keputusan KKSK sebelumnya yang berisi perintah penagihan utang ke Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI sehingga menyebabkan hilangnya hak tagih.

Syafruddin selaku Ketua BPPN tidak mempresentasikan kepada KKSK tentang hak tagih sebesar Rp4,8 triliun kepada kepada petambak PT. Dipasena Citra Darmaja (DCD) dan PT. Wahyuni Mandira (WM) yang merupakan faktor pengurang kewajiban Sjamsul Nursalim dalam Master Settlement And Acquisition Agreement (MSAA) yang masih bermasalah.

Berpedoman pada keputusan KKSK itulah, BPPN kemudian menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) dengan nomor surat SKL-22/PKPS-BPPN/0404 pada 26 April 2004 kepada obligor BDNI Sjamsul Nursalim, padahal masih ada kewajiban obligor yang belum dipenuhi, yaitu sebesar Rp4,8 triliun.

KPK menilai, sejak menjabat selaku Sekretaris KKSK periode 2000-2002, Temenggung sudah mengetahui hak tagih/piutang PT DCD dan PT WS bermasalah dan statusnya macet yang seharusnya tidak dapat dihitung sebagai pengurang dari kewajiban Sjamsul Nursalim, namun pada saat menjabat selaku Ketua BPPN periode 2002-2004, dia justru mengajukan penghapusan hak tagih/piutang PT DCD dan PT WS.

Dengan demikian, seolah-olah Sjamsul Nursalim telah memenuhi seluruh kewajibannya sebagai pemegang saham pengendali PT. BDNI yang akhirnya hal itu dijadikan dasar untuk menerbitkan SKL padahal penghapusan hak tagih/piutang tersebut tidak dilakukan berdasarkan Pasal 37 ayat 1 dan 2 huruf c UU No/1 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper