Bisnis.com, JAKARTA – Gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT Waimusi Agroindah akhirnya membuahkan hasil.
Pengadilan Negeri Palembang mengabulkan sebagian gugatan yang menggunakan prinsip strict liability atau tanggungjawab mutlak itu. Maksud bertanggungjawab mutlak adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.
Meskipun tidak semua nilai tuntutan yang diajukan KLHK dikabulkan, namun perusahaan perkebunan kelapa sawit itu pun harus membayar biaya ganti rugi dan pemulihan lingkungan sebesar Rp29,66 miliar.
Vonis ini jauh di bawah total nilai gugatan KLHK yakni sebesar Rp208,66 miliar.
Kasus Waimusi ini dibawa ke pengadilan karena perusahaan diduga membakar lahan gambut seluas 580 hektare di area konsesinya yang terletak di Kecamatan Pedamaran Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan, pada Agustus-September 2015.
“Sudah diputus pada Rabu [20/9] dan KLHK menang meskipun sebagian. Yang disetujui hakim Rp29,66 miliar dan pemulihan lahan seluas 400 hektare,” kata Anggota Tim Ahli KLHK Bambang Hero Saharjo kepada Bisnis, Kamis (21/9/2017).
Kendati menang, Guru Besar Perlindungan Hutan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini mengusulkan kepada KLHK agar mengajukan banding. Pasalnya, berdasarkan data di lapangan dia menemukan fakta bahwa dampak kerugian lingkungan lebih besar dari vonis hakim.
Ketika dimintai tanggapan, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup KLHK Jasmin Ragil Utomo belum menjawab pesan singkat dari Bisnis.
Dalam beberapa persidangan, tergugat menolak tuduhan membakar lahan konsesinya terbakar. Saksi yang didatangkan Waimusi mengatakan sumber api berasal dari ladang masyarakat yang meloncat ke kebun mereka.
Saksi ahli Waimusi, pengajar Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan IPB Yanto Santosa, mengaku telah meneliti lokasi kebakaran atas permintaan tergugat. Dalam laporannya, dia menyebutkan sumber api berasal dari areal perladangan warga di Sepucuk, OKI, dan tidak menemukan unsur kesengajaan dan kelalaian perusahaan. Kebakaran saat itu turut diperparah cuara kering akibat fenomena El Nino.
Saksi ahli tergugat lainnya, Kepala Laboratorium Pengaruh Hutan Institut Pertanian Bogor (IPB) Omo Rusdiana, juga mempertanyakan keabsahan penghitungan nilai ganti rugi oleh KLHK. Pasalnya, Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan (Labkarhutla) IPB yang digandeng KLHK tidak terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Omo menjelaskan akreditasi oleh KAN diperlukan guna menjamin pengawasan aktivitas sebuah lab. Dengan adanya akreditasi, perangkat di lab akan dikalibrasi dengan lab lain secara rutin sehingga hasil antarlab valid.
Meski demikian, dia mengakui proses mendapatkan akreditasi KAN tidak mudah dan murah. Sebuah lab paling tidak harus memiliki sumber daya manusia yang cukup dan fasilitas lengkap. “Kalau untuk sekadar memenuhi standar perkuliahan, sih, sudah cukup,” katanya.
Waimusi merupakan satu dari empat perusahaan perkebunan kelapa sawit yang digugat KLHK pada 2016 dengan menggunakan pendekatan tanggung jawab mutlak.
Selain Waimusi, gugatan dilayangkan terhadap PT Ricky Kurniawan Kertapersada di PN Jambi yang dituntut membayar Rp191,8 miliar, PT PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi di PN Jakarta Utara Rp539,5 miliar, dan PT Palmina Utama di PN Banjarmasin Rp183,7 miliar.
Pada Juni, PN Jambi telah memutus perkara PT Ricky Kurniawan Kertapersada dan menyatakan perusahaan tersebut tidak bersalah melakukan pembakaran lahan konsesinya.