Kabar24.com, JAKARTA - Proses demokratisasi yang sehat semestinya memberi ruang dan waktu yang cukup kepada rakyat untuk menimbang dan mamahami tipologi kepemimpinan nasional yang akan mengelola Indonesia ke depan.
Kontestasi Pemilu 2019 memang masih cukup jauh, namun dalam skala proses transformasi demokratik, ternyata waktu yang tersedia sedemikian ketatnya. Apalagi, proses pendidikan politik rakyat yang menyertai proses demokrasi harus disiapkan sejak dini, sebaiknya mulai tahun ini.
Agar rasionalisasi dan daya timbang politik rakyat semakin baik terkait figur yang akan berkontes dalam pemilu. Jika lini waktunya cukup, maka proses demokratisasi bisa lebih egaliter dan kontennya tidak dimonopoli oleh pemodal yang cenderung berpolitik secara transaksional.
Setiap zaman membutuhkan tipologi kepemimpinan tersendiri, karena tantangan dan masalah kebangsaan semakin komplek. Strategi pembangunan dan persaingan global membutuhkan kepemimpinan otentik yang mampu mengatasi fenomena ‘singa pemakan rumput’ dalam berbagai bidang.
Diharapkan pada 2019 akan muncul pemimpin otentik yang sangat berharga bagi perjalanan bangsa Indonesia. Usaha untuk merumuskan dan menghasilkan kepemimpinan otentik tidak pernah berhenti di muka bumi ini.
Bahkan, sekolah bisnis terkemuka di AS, Harvard, telah melakukan ribuan studi selama 50 tahun untuk mengidentifikasi dan memahami karakteristik pemimpin, ciri kepribadian dan gaya kepemimpinan dalam konteks model kepemimpinan otentik.
Kajian yang dilakukan oleh Bill George, profesor di Harvard, menyatakan bahwa kepemimpinan otentik akan diakselerasi dan berkembang oleh masing-masing calon berdasarkan pada dialektika kehidupannya sendiri. Kepemimpinan otentik berani menjadi dirinya sendiri.
Dalam konteks ke-Indonesia-an pemimpin yang otentik harus bisa reinventing nilai-nilai kebangsaan yang diadaptasi dengan kemajuan teknologi.
Setiap Zaman
Setiap periode zaman memiliki semangat atau jiwa sendiri-sendiri. Perlu kepemimpinan otentik yang mampu mengaktualisasikan gotong royong sesuai dengan semangat zaman dan kemajuan iptek, sehingga menjadi The Indonesian Way yang bisa menjadi strategi pembangunan yang hebat.
Realitasnya, spektrum perekonomian di negeri ini kini bisa dianalogikan bahwa berbagai sektor dan kebijakan diwarnai oleh fenomena ‘singa makan rumput’.
Singa merupakan gambaran dari perusahaan global/multinasional yang tengah beraksi di negeri ini untuk meraup belanja negara dan belanja masyarakat hingga skala yang terkecil. Kalau ‘singa sudah makan rumput’, hidup petani akan sengsara, karena digencet oleh komoditas yang serba impor.
Pada saat ini ada beberapa figur pemimpin yang punya kapasitas dan kompetensi untuk atasi fenomena singa makan rumput melalui inisiatif, karya hebat dan kegiatan inovasi yang berskala global. Figur sipil seperti Ilham Habibie, Agus Harimurti Yudhoyono atau yang berlatar militer seperti Gatot Nurmantyo telah mendapatkan penilaian publik sebagai pemimpin otentik masa depan. Yang patut diperhitungan dalam pilpres 2019.
Pemimpin Otentik
Rakyat menunggu pemimpin otentik yang bisa merumuskan The Indonesian Way yang berjiwa gotong royong.Kepemimpinan yang memberikan apresiasi kepada orang-orang kecil yang selama ini telah membesarkan Indonesia.
Kepemimpinan otentik mampu mewujudkan berdikari bangkitkan negeri yang sebenarnya. Bukan berdikari semu atau seolah-olah. Ilham Habibie sebagai gambaran. Putra sulung Presiden RI ketiga BJ Habibie memiliki track record yang cukup lengkap untuk menjadi pemimpin otentik nasional. Karya dan track record Ilham Habibie mirip ayahnya.
Sejak kepulangannya dari Jerman, tidak ada langkah yang lebih penting bagi dirinya selain menyiasati kekuatan globalisasi lewat transformasi teknologi dan industri bagi bangsanya.
Untuk mengatasi dampak negatif globalisasi yang semakin mengganas, sebagai pemimpin otentik harus mampu aktualisasi warisan pendiri negeri ini yakni berdikari.
Sayangnya, kepemimpinan nasional selama ini belum berhasil meneguhkan jiwa berdikari yang ditanamkan Bung Karno bersama koleganya, tokoh Asia, seperti Mahatma Gandhi dan Sun Yat Sen.
Sayangnya, jiwa berdikari bangsa Indonesia tidak pernah tuntas sepeninggal Bung Karno. Sedangkan, China dan India sudah tuntas dan berbuah kebangkitan negeri itu, sehingga bisa mengejar ketertinggalan dengan negara maju.
Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)