Bisnis.com,JAKARTA - Hampir semua aparatur sipil di Indonesia belum memiliki sense of crisis sebagai dasar menjalankan reformasi birokrasi sekaligus mencegah terjadinya korupsi.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengatakan, pada abad ke 18 negara-negara di Eropa seperti Inggris dan Prancis melakukan reformasi birokrasi karena terdorong oleh perasaan bahwa negara mereka akan hancur jika upaya reformasi itu tidak dilaksanakan.
“Hari ini yang saya rasakan kita belum punya ancaman itu. Sense of crisis belum kelihatan,” tutrnya, saat menjadi pembicara kunci dalam seminar internasional bertema membangun pemerintahan kelas dunia yang digelar Lembaga Administrasi Negara, Senin (21/8/2017).
Agus mengungkapkan, hampir seluruh aparatur negara yang melakukan pengadaan akan berpikir untuk mengeruk keuntungan dalam proses pengadaan tersebut meski pengadaan secara elektronik sudah dijalankan.
“Ada kasus lainnya, diatur pada waktu menyusun anggaran yang jauh di hulunya. Bukan hanya korupsi KTP elektronik tapi banyak kasus lainnya,” ungkap Agus.
KPK, lanjutnya, menyarankan pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi sebagaimana di negara-negara Eropa dengan melakukan perampingan struktur untuk memperkaya fungsi dan menghindari tumpang tindih kewenangan maupun data.
“Di Ameriksa Serikat, yang berwenang di laut itu cuma Angkatan Laut dan Penjaga Pantai. Di Indonesia macam-macam, ada polisi, ada KPLP, atau bea cukai dan lain sebagainya. Semakin tumpang tindih, maka reformasi birokrasi tidak bakal berjalan dengan baik,” tuturnya.
Selain itu, lembaga ini juga meminta pengenaan pembayaran gaji aparatur sipil negara secara tunggal tanpa memilah antara gaji pokok, tunjangan dan lain sebagainya. Negara menurutnya bisa menjalankan sistem penggajian tersebut karena selama ini praktik tersebut sebenarnya telah dijalankan meski ada pemilahan tersebut.