Kabar24.com, JAKARTA—Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto melakukan pertemuan tertutup Kamis (27/7) malam. Hal tersebut mendapatkan respon menarik dari para pengamat politik.
Pengamat politik yang merupakan Peneliti Senior LIPI Siti Zuhro mengatakan pertemuan tersebut menandakan dinamika baru politik nasional. Hal itu menurutnya sangat menarik, karena pada pilpres 2014 partai politik melakukan penjajakan saat mendekati pemilu.
“Menyongsong pemilu serentak 2019 partai-partai saat ini terdorong untuk bergegas dan harus membanguan koalisi lebih awal,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (27/7).
Dia menambahkan, pertemuan tersebut bisa menjadi penanda penjajakan lebih serius dalam mengusung kandidat presiden dan wakil presiden serta antisipasi koalisi.
Pangi Syarwi Chaniago, Direktur Eksekutif Voxpol Center, mengatakan pertemuan itu harus dimaknai sebagai hal yang positif untuk kepentingan membangun bangsa.Sebabnya, publik berharap pertemuan tokoh bangsa tersebut tidak hanya membahas sebatas pemanasan suhu politik menjelang pilpres 2019.
Namun juga membahas secara konprehensif bagaimana menemukan solusi dari masalah yang sedang dihadapi bangsa. Pertemuan itu pun diharapkan mampu meredakan berbagai ketegangan politik.
Kendati demikian, harus diakui pula pertemuan tersebut menimbulkan spekulasi sinyal berkoalisinya Gerindra dengan Demokrat yang bakal mengusung Prabowo Subianto sebagai capres dan Agus Harimurti Yodhoyono sebagai cawapres.
“Tak bisa juga kita nafikan bahwa ujung cerita di balik pertemuan dua tokoh negarawan tersebut adalah bagaimana memperkuat kembali roh Koalisi Merah Putih (KMP) menjelang pilpres 2019,” ujarnya.
Dia menyebut, pertarungan kontestasi elektoral pilpres 2019 masih memungkinkan bertumpu pada dua kutub atau terulang kembalinya pertarungan lama antara kekuatan politik KMP yaitu Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat berhadapan dengan poros Koalisi Indonesia Hebat yang dimotori PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP dan PKB.
Di sisi lain, menurutnya polaritas koalisi akan sangat ditentukan dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak atau menerima judical review presidential threshold (PT).
“Kalau nanti PT tetap 20% kursi DPR dan 25% suara sah nasional, maka kemungkinan maksimal hanya bakal ada 2 sampai 3 calon capres dan cawapres. Sangat memungkinkan peluang pertarungan peta politik KMP dan KIH akan kembali terulang,” katanya.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komaruddin mengatakan pertemuan tersebut tentunya punya misi politik. Pertemuan itu dinilainya sebagai jawaban atas kekecewaaan terhadap pengesahan UU Pemilu 2017.
Gerindra pun sebelumnya menjawab kekecewaan terhadap pengesahaan UU Pemilu dengan keluar dari Panitia Khusus Angket DPR RI terhadap KPK. Dia menilai, pertemuan ini akan mendorong partai di luar koalisi peerintah untuk melakukan hal yang sama.
Sehingga tak mustahil hadirnya koalisi baru untuk menghadang incumbent pada pemilihan presiden dua tahun mendatang.
“Pertemuan ini bisa mengubah peta politik yang sudah ada. Jika nanti diikuti partai yang sekarang berkoalisi dengan pemerintah tapi kelak mendukung poros ini bisa mengurangi legitimasi pemerintah. PAN memperlihatkan sinyal itu,” katanya.
Kendati demikian, lanjut dia, pertemuan ini merupakan momentum baik untuk demokrasi. Sehingga peta politik Tanah Air tidak didominasi kelompok tertentu dan dapat memberi ruang kepada partai di luar koalisi pemerintah.
Dia menilai dengan PT 20% kursi DPR dan 25% suara sah nasional memberi ruang kepada pemerintahan saat ini untuk menang mudah pada 2019 dan menutup pintu lain untuk capres dan cawapres di luar incumbent.
“Dengan adanya komunikasi politik ini membuka dinamika politik baru dan poros baru. Karena selama ini didominnasi partai politik koalisi, yang non koalisi harus diberi ruang berkontribusi terhadap bangsa yang sempat tertutup UU Pemilu tersebut.,” ucapnya.
Dia mengatakan, jika kelak pertemuan ini menghadirkan kekuatan politik baru, kinerja pemerintah bisa lebih baik karena oposisi akan memberikan kritik lebih gencar dari sebelumnya. Selain itu, sisi positifnya adalah demokrasi yang berkeadilan akan lebih mudah tercipta.