Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah diminta cermat dan memastikan pengutamaan kepentingan nasional menjadi prioritas dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden Pelaksanaan Paten dan Pemegang Paten.
Cita Citrawinda, Ketua Ketua Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (AKHKI), mengatakan kehadiran setiap pasal yang ada di Undang Undang No. 13/2016 tentang Paten sudah sesuai dengan kepentingan nasional.
Sebagai beleid pengganti UU No. 14/2001 tentang Paten, undang-undang terbaru ini memungkinkan masyarakat lebih menikmati faedah dari regulasi paten nasional. Pasalnya, dalam beleid terdahulu, menurutnya pemegang paten tidak mendapat pengawasan optimal.
“Apakah pemegang paten itu menjual atau menyewakan kita tidak tahu. Substansi dari UU No. 13/2016 sudah sangat logis, karena kita tidak hanya ditempatkan sebagai negara yang menikmati produk impor, tetapi juga harus ada transfer teknologinya,” katanya, kepada Bisnis, Kamis (15/6/2017).
Sebagai bagian dari kebijakan turunan dari UU No. 13/2016, Rancangan Perpres Pelaksanaan Paten dan Pemegang Paten dihadirkan sebagai penjelasan dari Pasal 20 undang-undang tersebut.
Nantinya, Perpres ini menjelaskan aturan permohonan penundaan pemegang paten untuk membuat produk di Tanah Air. Dalam permohonannya, pemegang paten wajib memberikan alasan-alasan kepada Menteri Hukum dan HAM. Kemudian, menteri akan membentuk tim ahli untuk melakukan pemeriksaan dan kajian terhadap permohonan pemegang paten.
Salah satu sektor industri yang menganggap kehadiran perpres ini penting adalah farmasi. Pasalnya, salah satu sektor industri strategis ini, pemenuhan bahan baku hingga produk hilirnya masih dikendalikan oleh pelaku asing.
Terpisah, Direktur Paten, DTLST, dan Rahasia Dagang Kemenkumham Timbul Sinaga mengatakan Rancangan Perpres Pelaksanaan Paten dan Pemegang Paten sudah sampai di tangan Kementerian Sekretariat Negara.
“Tidak akan lama akan terbit, karena sudah ada di Setneg,” tuturnya.
Timbul menjelaskan hadirnya Perpres ini sebagai cara pemerintah untuk memberikan pertimbangan kepada pemegang paten, untuk dapat menunda pembuatan produknya di Tanah Air atau tidak.
Kendati demikian, Cita menambahkan jika pemegang paten tidak melakukan produksi di dalam negeri, atau setidaknya alih teknologi, sesuai dengan aturan pemerintah menerbitkan lisensi wajib. Pada kondisi ini, pemegang paten kehilangan hak ekslusifnya.
Diterangkan dalam Pasal 82 huruf (a) UU No. 13/2016 lisensi wajib merupakan lisensi untuk pelaksanaan paten yang diberikan pemerintah atas dasar permohonan karena pemegan paten tidak melaksanakan kewajiban untuk membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia.
Selain menghilangkan hak ekslusif, pemerintah juga dapat menghapuskan paten. Aturan tersebut, dijelaskan pada Pasal 132 huruf (e). Disebutkan penghapusan paten berdasarkan putusan pengadilan dilakukan jika pemegang paten melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
Sebelumnya, pelaku industri mengaku tidak sepenuhnya siap jika produk paten yang dipasarkan untuk pasar lokal juga harus diproduksi di Tanah Air.
Perhitungan Ekonomi
Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG) Parulian Simanjuntak mengatakan konsumsi obat paten di sebuah negara tidak selalu besar, maka jika harus dipaksakan untuk diproduksi di dalam negeri, perhitungan ekonominya tidak menguntungkan.
Menurutnya, konteks transfer teknologi sebaiknya dipandang secara luas. Misalnya, setiap memasarkan produk baru, manufaktur harus mengeluarkan investasi untuk mengedukasi dokter. Akan tetapi, jika dipandang secara sempit transfer teknologi selalu dikaitkan dengan pembanugan pabrik.
“Sebagai investor dalam menemukan produk ini mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dengan peluang mendapatkan keuntungan tidak lama. Karena amanat ini untuk semua produk paten, tentu sepertinya farmasi juga dirugikan,” katanya.