Kabar24.com, JAKARTA – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menganggap, selama tahun 2016 kondisi keagrariaan di Indonesia belum membaik.
Hal itu tampak dari ejumlah konflik agraria yang melibatkan negara, perusahaan, dengan masyarakat yang tidak diselesaikan dengan baik.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA Dewi Kartika mengatakan, khusus soal konflik agraria, ada tiga hal yang membuat konflik tersebut terus terjadi. Pertama, belum ada perubahan paradigma soal regulasi keagrariaan.
“Tanah dan Sumber Daya Alam (SDA) masih dipandang sebagai kekayaan alam yang harus dikelola oleh investor skala besar baik nasional masupun asing,” kata Dewi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (6/1/2017).
Selain soal regulasi, masalah kedua adalah korupsi dan kolusi dalam pemberian tanah konsesi dan sumber daya alam. Salah satu perkara yang kini sedang disidik oleh KPK adalah korupsi penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) yang diduga dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.
Sedangkan, yang terakhir adalah sikap aparat penegak hukum khususnya kepolisian dalam menghadapi konflik agraria di lapangan. Pihak kepolisian cenderung mengedepankan pendekatan represif yang erkadang melampaui batas.
“Kondisi demikian tentu menjadi alasan mengapa sepanjang tahun 2016, konflik agraria, baik dari segi jumlah, luasan, maupun korban masih tercatat tinggi. Minimnya kanal penyelesaian konflik yang berkeadilan menyebabkan konflik-konflik tersebut sulit menemukan titik terang penyelesaian,” jelasnya.
Adapun berdasarkan catatan KPA, jumlah koflik agraia selama tahun 2016 mencapai 450 konflik, dengan luasan wilayah 1,26 juta hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di Indonesia.
Dari luas wilayah konflik 1,26 juta hektare, perkebunan menempati urutan pertama dalam luasan wilayah, yakni 601.680 hektare. Urutan kedua sektor kehutanan seluas 450.215 hektare, sektor properti seluas 104.379 hektare, sektor migas seluas 43.882 hektare, sektor infrastruktur seluas 35.824 hektare, sektor pertambangan 27.393 hektare, sektor pesisir 1.706 hektare, dan terakhir sektor pertanian dengan luasan 5 hektare.
Konflik agraria tersebar di 34 provinsi, dengan enam besar provinsi sebagai penyumbang konflik tertinggi, antara lain: Riau dengan 44 konflik (9,78 %), Jawa Timur dengan 43 konflik (9.56 %), Jawa Barat sebanyak 38 konflik (8,44 %), Sumatra Utara 36 konflik (8,00 %), Aceh 24 konflik (5,33 %), dan Sumatra Selatan 22 konflik (4,89 %).