Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah membantah padi hibrida yang diimpor oleh pemerintah mengandung bakteri Burkholderia Glumae dan sudah menyebar hampir di seluruh persawahan di Pulau Jawa.
Untuk itu, Kementerian Pertanian (Kementan) membantah pernyataan Ketua Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB, Dr. Suryo Wiyono, Senin (19/12/2016) yang mengatakan padi Hibrida yang dimasukkan oleh Pemerintah melalui Kementan mengandung bakteri Burkholderia Glumae.
Bahkan, kata Suryo, berbakteri ini sudah menyebar hampir di seluruh persawahan di Pulau Jawa. Bakteri tersebut membuat padi tidak berisi dan membusuk.
Kepala Biro Humas dan Informasi Kementan, Agung Hendriadi mengatakan pernyataan itu sangat keliru. Alasannya, pertama, penelitian yang dilakukan pakar Suryo Wiyono hanya dilakukan di dua lokasi: Kabupaten Tegal dan Blitar.
"Artinya, hasil penelitiannya Suryo Wiyono tidak mewakili karena padi hibrida ditanam dibanyak tempat. Ada Kalimantan, Sumatra, Jawa, NTB dan Sulawesi yang mempunyai produktivitas tinggi hingga 13 ton/ha ," katanya, saat membuka konferensi pers di Kantor Pusat Kementan, Selasa (19/12/2016).
Hadir pada konferensi pers ini yakni Direktur Perbenihan Kementan Ibrahim Saragih, Kepala Balai Besar Penelitian Padi, Muhamad Ismail, dan Kepala Pusat Karantina Pertumbuhan, Antarjo Dikin. Hadir pula profesor riset dari Balai Besar Penelitian Padi, Badan Penelitan dan Pengembangan Kementan yaitu Prof. Buang, Prof. Bambang, dan Prof. Juarno.
Kedua, lanjut Agung, total pertanaman hibrida di Indonesia kecil. "Hanya 0 komaan %. Jadi, pernyataan Suryo Wiyono bakteri itu menyebar di seluruh Pulau Jawa sangat tidak tepat sehingga meresahkan masyarakat," ujarnya.
Ketiga, dalam buku juknis organisme pengganggu tanaman (OPT) yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan bahwa bakteri Burkholderia Glumae bukan merupakan Major Desease padi di Indonesia, sehingga belum pernah ada puso akibat bakteri tersebut.
Kepala Balai Besar Penelitian Padi, Muhamad Ismail mengakui bakteri Burkholderia Glumae sudah lama ada di Indonesia sejak 1987 dan merupakan bakteri tipe A2 yang dapat dikendalikan. Sudah 30 tahun dan tidak berpengaruh terhadap produktivitas. "Sehingga bukan baru ditemukan berdaasarkan hasil penelitian Dr. Suryo Wiyono."
Selama rentang waktu tersebut, keberadaan bakteri Burkholderia Glumae belum pernah ada kejadian yang mengakibatkan gagal panen (puso). "Walau ada serangan, tapi tidak ganggu produksi," tuturnya.
Direktur Perbenihan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementan Ibrahim Saragih menegaskan pengembangan benih padi hibrida di Indonesia telah memberikan hasil yang bagus yakni 14 ton/ha. Kebijakan ke depan sesuai arahan Dirjen Tanaman Pangan, impor benih padi hibrida sementara distop.
"Ini untuk dorong produksi dan pemanfaatan benih hibrida nasional seperti HIPA dan benih asal impor yang sudah diprodiksi di dalam negeri," tegasnya.
Untuk diketahui, sesuai ketentuan Tim Penilai Pelepasan Varietas (TP2V), impor benih hibrida untuk satu varietas hanya diijinkan 3 tahun, selebihnya harus sudah diproduksi dalam negeri. Contoh benih hibrida yang sudah diproduksi dalam negeri adalah Sembada B9, Sembada 189 dan Mapan B02 yg mempunyai provitas 12-13 ton/ha dan disukai petani pada beberapa lokasi.