Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

DUGAAN SUAP RAPERDA DKI: Aguan Setujui Rp50 Miliar Untuk Anggota DPRD

Direktur Utama PT Kapuk Naga Indah Budi Nurwono menyebut pendiri induk perusahaan itu, Agung Sedayu Grup, Sugianto Kusuma alias Aguan menyetujui RP50 miliar untuk anggota DPRD DKI Jakarta demi mengusahakan pengesahan Raperda Pantai Utara (Pantura) Jakarta.
Chairman Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan (tengah) meninggalkan Gedung KPK usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Selasa (19/4)./Antara
Chairman Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan (tengah) meninggalkan Gedung KPK usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Selasa (19/4)./Antara

Bisnis.com, JAKARTA -  Direktur Utama PT Kapuk Naga Indah Budi Nurwono menyebut pendiri induk perusahaan itu, Agung Sedayu Grup, Sugianto Kusuma alias Aguan menyetujui RP50 miliar untuk anggota DPRD DKI Jakarta demi mengusahakan pengesahan Raperda Pantai Utara (Pantura) Jakarta.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Ali Fikri dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (3/8/2016), menyampaikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Budi Nurwono karena tidak dapat menghadirkan Budi yang sudah tiga kali dipanggil sebagai saksi.

Administrasi Teknik Budi Setiawan juga tidak jadi menjadi saksi dalam sidang karena sedang berada di luar negeri.

"Budi Nurwono beralasan sakit dan berobat di Singapura, Budi Setiawan sedang bekerja di Singapura, dan beralasan tidak diizinkan perusahaan untuk hadir," kata jaksa Ali.

Dalam BAP 18 saat pemeriksaan 14 April 2016, Budi Nurwanto mengakui bahwa dalam pertemuan di rumah Aguan di Pantai Indah Kapuk pada Januari 2016, Aguan menyanggupi permintaan Rp50 miliar dari anggota DPRD DKI Jakarta.

Ali mengungkapkan bahwa dalam BAP no 18, ditanyakan apakah ada pertemuan di rumah saudara Aguan di Pantai Indah Kapuk atau di kantor Harco bersama-sama dengan pihak DPRD DKI Jakarta yang membahas percepatan penyelesaian dalam rancangan raperda.

Budi Nurwanto menjawab ada pertemuan pada sekitar Januari 2016 di rumah di Pantai Indah Kapuk.

"Dihadiri oleh Aguan, saya, dari DPRD DKI Jakarta di antaranya Sanusi, Ariesman dan pada waktu itu seingat saya Aguan mengatakan bahwa untuk membahas percepatan raperda RTRKS dari DPRD mengatakan agar menyiapkan Rp50 Miliar, Aguan menyanggupi sebesar Rp50 miliar untuk anggota DPRD DKI Jakarta kemudian Aguan bersalaman dengan seluruh yang hadir," kata jaksa Ali Fikri saat membacakan BAP.

Selanjutnya dalam BAP 31 mengenai pembicaraan antara Budi Nurwono dan Budi Setiawan 23 Februari 2016.

"Maksud kalimat 15 persen tadi pagi sudah 'confirm' nggak ada, saya ingat siapa yang memberitahu saya perihal tambahan kontribusi 15 persen hilang dari raperda, namun yang paling mungkin mempunyai informasi itu dan memberitahu saya adalah Pak Aguan karena pada hari itu ada rapat setiap Selasa dengan Pak Aguan di Mangga Dua," kata jaksa Fikri.

Masih pembicaraan pada 23 Februari 2016, dalam BAP 34 disebutkan bahwa Budi Nurwanto dan Sanusi berbicara bahwa draft raperda RTRKSP tidak sesuai dengan kesepakatan keduanya.

"Pembicaraan antara saya dengan Sanusi bahwa 'draft' raperda yang diajukan oleh Bappeda tidak sesuai dengan kesepakatan awal di antaranya saya mengatakan '15 persen tidak bisa dihilangkan, saudara Sanusi mengatakan gak mungkin-gak mungkin, maksudnya adalah tidak mungkin masuk lagi ke dalam raperda kemudian saya minta kepada Sanusi agar raperda diparipurnakan dulu'," ungkap jaksa Ali Fikri.

Selanjutnya dalam BAP 38 juga ditunjukkan percakapan antara Budi dengan mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi terkait dengan peran staf Gubernur DKI Jakarta Sunny Tanuwidjaja dan ketua Badan Legislasi Daerah (Balegda) Mohamad Taufik yang juga kakak Sanusi.

"Percakapan 23 Februari 2016 antara saya dan Sanusi minta agar Budi Setiawan dan Trinanda menemui Sanusi dengan membawa raperda yang lama dengan raperda yang baru untuk dibahas bersama-sama sehingga tahu mana yang diubah oleh Bappeda. Saya katakan 'Saya sudah melapor kepada Sunny yang dulu sudah disetujui sekarang diubah, Sunny meminta copy raperda yang baru dimasukkan kepada DPRD," yang akan dilaporkan kepada Gubernur DKI oleh Sunny adalah perbedaan draf raperda tersebut. Sanusi mengatakan 'Saya udah minta bang Taufk untuk menarik' maksudnya adalah Sanusi meminta kepada Pak M Taufik untuk menarik kembali draft raperda tersebut," ungkap jaksa Ali.

Terakhir adalah BAP 97 berdasarkan pemeriksaan 19 Mei 2016 yang menegaskan permintan uang dari anggota DPRD DKI Jakarta sebesar Rp50 miliar dan kesanggupan Aguan.

"Yang meminta uang tersebut dari pihak yang tidak saya kenal karena yang hadir adalah undangan namun saya tidak tahu siapa yang mengundang. Yang hadir adalah anggota DPRD DKI dan pengembang yaitu PT KNI, saya sendiri, dan Pak Aguan serta dari APL saudara Ariesman Maka kemungkinan orang yang meminta uang sebesar Rp50 miliar tersebut adalah pihak dari DPRD DKI Jakarta. Yang menganggupi untuk memberikan uang tersebut adalah Pak Aguan. Permintaan uang tersebut dalam rangka kelancaransidang paripurna untuk mempercepat pengesahan raperda. Saya tidak tahu apakah sudah ada penyerahan uang atau belum," ungkap jaksa Ali.

Namun menurut jaksa, Budi Nurwono mencabut keterangan di BAP 18 dan BAP 97. Surat pencabutan keterangan tersebut dikirimkan tiga kali kepada KPK.

"Saya tidak mau fitnah dan merusak citra orang lain, saya sedang sakit dan saya takut menimbulkan dosa. Saya tidak pernah mengikuti pertemuan di Pantai Indah Kapuk, dan tidak mengetahui adanya permintaan uang," kata Budi dalam suratnya yang dibacakan jaksa.

Surat ditandatangani Budi di atas materai dan dibenarkan melalui keterangan notaris di Singapura. Surat tersebut juga sudah disahkan Kantor Kedutaan Indonesia di Singapura.

Terdakwa kasuus ini adalah mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja dan pegawainya Trinanda Prihantoro yang didakwa menyuap anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi Partai Gerindra Mohamad Sanusi sebesar Rp2 miliar agar mengubah pasal yang mengatur kontribusi tambahan dalam Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (Pantura) Jakarta (RTRKSP) dari tadinya 15 persen menjadi 15 persen dari 5 persen kontribusi.

Keduanya didakwa berdasarkan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Martin Sihombing
Sumber : ANTARA
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper