Bisnis.com, SEMARANG--Lembaga Sertifikasi Profesi Batik melihat masih banyak pembatik yang belum menguasai aspek pengatuhan dan sikap, kendati dari sisi keterampilan sudah mumpuni.
Direktur LSP Batik Subagyo Sujono Putro mengatakan kesimpulan tersebut berdasarkan hasil uji kompetensi yang sudah dilakukan.
Dia melihat hal itu disebabkan oleh beberapa hal, yakni kurikulum pendidikan dan pelatihan yang belum mengacu kepada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Karena, sambungnya, kurikulum tersebut disusun sebelum SKKNI ditetapkan.
"Lalu, terbatasnya pengetahuan tentang SKKNI, serta belum adanya kesamaan sudut pandang dalam struktur dan isi kurikulum," katanya dalam keterangan resmi, Selasa (21/6/2016).
Menurutnya, keberadaan SKKNI di sektor batik selayaknya direspons oleh masyarakat pendidikan dengan menyesuaikan materi dan konstruksi kurikulum yang didasarkan pada unit-unit kompetensi yang tersedia.
Selain itu, imbuhnya, materi pembelajaran juga disesuaikan dengan skema klaster/okupasi yang dikembangkan pada standar uji kompetensi.
Dia melihat setelah batik ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Unesco pada 2009, perkembangan industri batik mulai bergairah. Kondisi itu berdampak langsung pada lahirnya berbagai upaya pelestarian.
"Pendidikan dan pelatihan batik berkembang di berbagai jalur dan jenjang pendidikan formal, non formal, maupun informal. Meskipun begitu, berbagai pihak menyusun kurikulum sesuai dengan perspektif masing-masing," tuturnya.
Dia melanjutkan kondisi tersebut berdampak pada lahirnya kompetensi lulusan yang sangat beragam dan tidak standar.
Dia berharap Simposium Kurikulum Batik Berbasis SKKNI yang digelar dapat membantu berbagai pihak dalam menciptakan pekerja batik yang kompeten.