Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jumlah Anak Tak Berkewarganegaraan di Hong Kong Melonjak

Jumlah anak tak berkewarganegaraan yang dilahirkan para pengungsi meningkat di Hong Kong seiring dengan peningkatan para pencari suaka hingga lebih dari tiga kali lipat dalam dua tahun terakhir.
Hong Kong/telegraph.co.uk
Hong Kong/telegraph.co.uk

Bisnis.com, HONG KONG -  Jumlah anak tak berkewarganegaraan yang dilahirkan para pengungsi meningkat di Hong Kong seiring dengan peningkatan para pencari suaka hingga lebih dari tiga kali lipat dalam dua tahun terakhir.

Hal itu menimbulkan kegelisahan bagi penduduk dan anggota legislatif di Hong Kong.

Pada saat Eropa berupaya memecahkan persoalan gelombang massa yang putus asa akan peperangan di Suriah, para pencari suaka dari negara-negara di Asia, seperti Bangladesh, India, Pakistan, dan Vietnam mengalir ke Hong Kong, bersama dengan massa dari Afrika.

Namun sejumlah aktivis hak asa manusia dan lembaga-lembaga nonpemerintahan menuding pihak berwenang di kota pemerintahan China itu enggan mengeluarkan persetujuan untuk menghindari gelombang pendatang lebih besar lagi.

Hong Kong hanya menyetujui 52 dari sekitar 8.000 pemohon sejak 2009. Terdapat sekitar 11.000 pencari suaka di pusat keuangan Asia itu, sebagian masih tidak jelas nasibnya setelah menunggu lebih dari 15 tahun.

"Masa depan kami sudah pergi sehingga kami memikirkan masa depan anak-anak," kata Adjouma Ibrahim, ketua Perserikatan Pengungsi, yang tinggal di Hong Kong selama 11 tahun.

"Anak kami tidak berkewarganegaraan. Kami tidak punya dokumen perjalanan," katanya kepada Kantor Berita Reuters.

Ibrahim berasal dari Togo, Afrika barat, dan putra-putrinya, meskipun keduanya lahir di Hong Kong, di antara lebih dari 580 anak-anak pengungsi ditolak mendapatkan hak tinggal sehingga mustahil bagi anak-anak muda untuk mendapatkan pekerjaan atau tinggal.

Pemerintahan bekas koloni Inggris itu memberikan 30 persen biaya sekolah bagi pengungsi anak-anak, namun hanya sedikit orang tua yang membayar sisanya karena mereka tidak bisa bekerja secara legal pada saat menantikan status mereka mendapatkan persetujuan.

"Salah satu sisi negatif sistem di Hong Kong adalah para pencari suaka anak-anak dan pengungsi," kata Mark Daly, salah seorang ketua firma hukum Daly and Associates yang memfokuskan perhatiannnya pada bidang HAM.

Meskipun lahir di Hong Kong dan fasih berbahasa Inggris dan dialek regional Kanton, mereka tidak diizinkan bekerja.

"Mereka berupaya memikirkan masa depannya dan memikirkan apa yang akan mereka putuskan - 'Kemana saya pergi, apa yang saya lakukan, apa saya bisa bekerja?'," ujarnya menambahkan.

Pengungsi menjadi masalah sensitif bagi warga dan politikus serta media menyalahkan mereka atas meningkatnya kasus kriminal.

Seperti ulasan yang mengandung prasangka, kata Rizwan Ullah, salah seorang penasihat pendidikan Perhimpunan Pelajar Pakistan di Hong Kong.

"Itu stereotip membawa prasangka dan diskriminasi," katanya.

"Anak-anak bukanlah pelaku kriminal. Mereka hanya menginginkan situasi yang lebih baik," ujarnya.

Politikus telah mendorong pembatasan ketat setelah pemerintah mengadopsi mekanisme penyaringan pada 2014 untuk memilih orang-orang yang memenuhi kriteria pengungsi yang diatur dalam hukum internasional.

"Hong Kong merupakan tempat yang sangat nyaman dan pemerintah kami sangat bermurah hati kepada para pencari suaka," kata Dominic Lee, pengurus Partai Liberal.

"Ini memberikan kesempatan besar kepada pengungsi gadungan untuk datang ke Hong Kong dan memanfaatkan kesempatan itu," tambah Lee yang menuntut pemulangan pengungsi dan kamp-kamp untuk menempatkan mereka.

Pihak pemerintah Hong Kong belum menjawab permintaan untuk mengomentari persoalan tersebut.

Namun dalam dokumen legislatif tahun ini, pemerintah mengakui perlunya memperpendek proses penyaringan yang panjang. Selama lima tahun yang lalu, pemerintah memiliki lebih dari dua kali lipat petugas yang mengatasi permohonan suaka.

Bagi Mohammad Kazi, mantan anggota Partai Nasional Bangladesh, Hong Kong menjadi tempat paling baik untuk melarikan diri dari marabahaya.

Dia berharap bisa menetap secara permanen di Hong Kong, meskipun harga rumah tergolong mahal di dunia, namun dia tidak mampu menyekolahkan kedua putrinya, Shanzia (5) dan Samia (6).

"Saya ingin anak saya memiliki masa depan yang baik. Jika kami pergi ke Bangladesh, kami bisa mati," kata Kazi (40) menambahkan namun tanpa menyebutkan jenis ancaman di negaranya.

"Di sini kami bersama, kami adalah keluarga," katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Martin Sihombing
Sumber : ANTARA/REUTERS

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper