Kabar24.com, JAKARTA - Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo berpendapat Komisi Pemberantasan Korupsi idealnya bekerja sama dengan institusi-institusi negara yang bermasalah dalam pengelolaan sistem birokrasi internalnya.
Adnan yang ditemui dalam acara Konvensi Antikorupsi PP Pemuda Muhammadiyah, di Jakarta, Jumat (17/6/2016) malam, mengatakan kerja sama KPK dengan institusi bermasalah itu diperlukan demi menjamin efektivitas pencegahan korupsi.
"Contohnya pengelolaan dana haji. Tiga kali menteri agama terjerat kasus yang sama, padahal KPK dapat menawarkan sistem pengelolaan yang transparan, tapi karena tidak ada kerja sama maka hal tersebut tidak berjalan," kata dia.
Adnan mendukung adanya rencana kerja sama antara KPK dan MA, dengan catatan bahwa KPK juga perlu dukungan politik apabila ingin secara efektif memperbaiki institusi peradilan.
"Menurut saya, selain dengan MA, KPK juga bisa kerja sama dengan Presiden untuk membicarakan lebih jauh terkait perbaikan institusi peradilan. Kerja sama dengan Presiden tersebut sebagai sebuah dukungan politik agar sanggup melakukannya," kata dia.
Adnan juga menegaskan bahwa KPK harus tetap menjaga independensi dengan tidak membicarakan kasus dengan institusi-institusi yang dilibatkan dalam kolaborasi.
"Independensi bisa bermasalah apabila muncul komunikasi terkait kasus. Kalau sebatas koordinasi tidak masalah, karena bagaimana pun tetap harus menjalin komunikasi dengan institusi lain," ujar dia pula.
KPK dan MA berencana menyusun strategi dan kajian bersama untuk mencegah praktik koruptif penegak hukum, mengingat dalam enam bulan terakhir empat oknum peradilan terjaring operasi tangkap tangan karena kasus tindak pidana korupsi.
Dalam delapan kasus OTT KPK, terdapat empat oknum peradilan yang tersangkut kasus korupsi, yaitu suap terhadap Kepala Subdirektorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata Khusus Mahkamah Agung Andri Tristianto Sutrisna.
Selain itu, suap panitera PN Jakarta Pusat Eddy Nasution terkait pengajuan permohonan Peninjauan Kembali di PN Jakarta Pusat, suap terhadap dua hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) Bengkulu, dan suap kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara Rohadi terkait pengurusan perkara perbuatan asusila yang dilakukan pedangdut Saipul Jamil.