Bisnis.com, MEDAN - Persoalan pembayaran pajak air permukaan umum (APU) PT Indonesia Asahan Aluminium Persero (Inalum) dengan Pemprov Sumatra Utara masih menunggu keputusan pengadilan pajak. Adapun, Inalum bersikeras tidak menunggak pajak APU.
Direktur Operasional Inalum Sahala Sijabat menjelaskan pihaknya selalu berkomitmen untuk membayar seluruh kewajiban baik kepada pemerintah pusat maupun kepada Pemprov Sumut. Hal ini tidak pernah bermasalah pada saat Inalum masih berstatus penanaman modal asing (PMA).
"Saat masih PMA, kami selalu membayar annual fee. Pada 2013 misalnya, kami membayar total Rp80 miliar, dengan pajak APU Rp18 miliar. Begitu juga setelah menjadi BUMN kepada pemprov dan pemda. Sampai saat ini Dispenda [Dinas Pendapatan Daerah] Sumut telah menagih pajak APU melalui SKPD [Surat Ketetapan Pajak Daerah]. Kami sudah melunasinya. Tapi yang bermasalah adalah SKPD untuk Sungai Asahan yang kami gunakan untuk pembangkit listrik kepentingan sendiri," papar Sahala, di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Komisi C DPRD Sumut, Jumat (17/6/2016).
Adapun, selama ini Inalum menggunakan beberapa sungai seperti Tanjung dan Sipare-pare di Batubara, Simanimbo di Toba Samosir, dan Sungai Asahan. Perusahaan menggunakan air Sungai Asahan untuk dua kepentingan yakni pembangkit listrik yang dipasok ke PLN dan kepentingan sendiri.
Pemanfaatan Sungai Asahan untuk kepentingan sendiri ini yang menjadi masalah. Dispenda Sumut menghitung pajak berdasarkan tarif industri yakni kubikasi air, sementara Inalum berdasarkan tarif pembangkit listrik atau per Kwh.
"Kami sudah mengajukan surat keberatan pertama kali pada 24 Desember 2014. Pertama untuk masa pajak November 2013-September 2015. Pemprov Sumut sudah menolak keberatan kami dan sekarang ini yang sedang kami ajukan banding ke pengadilan pajak. Kedua, untuk masa pajak Oktober 2015-Desember 2015 dan kembali ditolak pemprov. Terakhir untuk masa pajak Januari 2016 juga sudah kami ajukan surat keberatannya," tambah Sahala.
Dia mengatakan, untuk mengajukan banding ke pengadilan pajak, pihaknya juga telah membayar 50% dari pajak terutang pada masa tersebut yakni Rp425,87 miliar ke Pemprov Sumut. Hingga saat ini pengadilan pajak telah menggelar dua kali sidang yakni pada 31 Mei dan 14 Juni 2016.
Selain masalah perbedaan perhitungan harga, Sahala mengemukakan, jika menggunakan perhitungan Dispenda Sumut, maka per tahun beban pajak APU perusahaan mencapai Rp521 miliar atau US$40,1 juta.
"Kenaikan beban ini menjadi tambahan biaya tetap bagi kami. Ini juga akan menaikkan harga pokok produksi dan kami berpotensi mengalami kerugian terutama pada saat harga jual alumunium dunia turun. Ambil contoh, dari keuntungan kami pada 2015 US$80 juta, lebih dari 50% harus kami bayarkan kepada pemprov. Bagaimana kami bisa berkembang? Justru Inalum dijadikan BUMN untuk mengembangkan industri aluminium nasional."
Pada kesempatan yang sama Kepala Bidang APU Dispenda Sumut Rita Mustika menyebutkan, selama ini memang Inalum tak bermasalah untuk pembayaran pajak golongan APU non-industri dan untuk PLN.
Kendati demikian, penggunaan APU untuk pembangkit listrik kepentingan sendiri tak bisa dihitung sama dengan tarif untuk PLN yakni Rp75/Kwh, sehingga menggunakan tarif kubikasi Rp150/m3. Hal ini tercantum dalam Pergub No.24/2011 pasal 9 ayat 3. Selain itu, perhitungan Dispenda Sumut juga mengacu pada Perda No.1/2011 tentang Pajak Daerah Sumut.
"Inalum itu harus membayar untuk golongan industri bukan PLN. Seharusnya Inalum membayar pajak APU Rp41 miliar hingga Rp43 miliar per bulan, tapi yang disetor hanya Rp2 miliar per bulan dari perhitungan tarif APU untuk pembangkit PLN. Inalum juga pernah mengajukan judicial review untuk pasal 9 ayat 3 tersebut ke Mahkamah Agung, dan pada 22 Maret 2016 hasilnya permohonan tidak dapat diterima," papar Rita.
Ketua Komisi C Zeira Salim menuturkan, apapun keputusan pengadilan pajak, baik Inalum maupun Pemprov Sumut harus menerima dan melaksanakannya.
"Saat ini memang Sumut membutuhkan tambahan pajak daerah, terutama dari APU. APBD Sumut defisit untuk pembangunan. Pajak kendaraan bermotor yang selama ini menjadi ujung tombak sudah mulai tak bisa diandalkan," pungkasnya.
Febriany D.A. Putri
Pajak Air Permukaan Umum
Inalum Bersikeras Tak Menunggak, Tunggu Hasil Pengadilan Pajak
MEDAN--Persoalan pembayaran pajak air permukaan umum (APU) PT Indonesia Asahan Aluminium Persero (Inalum) dengan Pemprov Sumatra Utara masih menunggu keputusan pengadilan pajak. Adapun, Inalum bersikeras tidak menunggak pajak APU.
Direktur Operasional Inalum Sahala Sijabat menjelaskan, pihaknya selalu berkomitmen untuk membayar seluruh kewajiban baik kepada pemerintah pusat maupun kepada Pemprov Sumut. Hal ini tidak pernah bermasalah pada saat Inalum masih berstatus penanaman modal asing (PMA).
"Saat masih PMA, kami selalu membayar annual fee. Pada 2013 misalnya, kami membayar total Rp80 miliar, dengan pajak APU Rp18 miliar. Begitu juga setelah menjadi BUMN kepada pemprov dan pemda. Sampai saat ini Dispenda [Dinas Pendapatan Daerah] Sumut telah menagih pajak APU melalui SKPD [Surat Ketetapan Pajak Daerah]. Kami sudah melunasinya. Tapi yang bermasalah adalah SKPD untuk Sungai Asahan yang kami gunakan untuk pembangkit listrik kepentingan sendiri," papar Sahala, di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Komisi C DPRD Sumut, Jumat (17/6).
Adapun, selama ini Inalum menggunakan beberapa sungai seperti Tanjung dan Sipare-pare di Batubara, Simanimbo di Toba Samosir, dan Sungai Asahan. Perusahaan menggunakan air Sungai Asahan untuk dua kepentingan yakni pembangkit listrik yang dipasok ke PLN dan kepentingan sendiri.
Pemanfaatan Sungai Asahan untuk kepentingan sendiri ini yang menjadi masalah. Dispenda Sumut menghitung pajak berdasarkan tarif industri yakni kubikasi air, sementara Inalum berdasarkan tarif pembangkit listrik atau per Kwh.
"Kami sudah mengajukan surat keberatan pertama kali pada 24 Desember 2014. Pertama untuk masa pajak November 2013-September 2015. Pemprov Sumut sudah menolak keberatan kami dan sekarang ini yang sedang kami ajukan banding ke pengadilan pajak. Kedua, untuk masa pajak Oktober 2015-Desember 2015 dan kembali ditolak pemprov. Terakhir untuk masa pajak Januari 2016 juga sudah kami ajukan surat keberatannya," tambah Sahala.
Dia mengatakan, untuk mengajukan banding ke pengadilan pajak, pihaknya juga telah membayar 50% dari pajak terutang pada masa tersebut yakni Rp425,87 miliar ke Pemprov Sumut. Hingga saat ini pengadilan pajak telah menggelar dua kali sidang yakni pada 31 Mei dan 14 Juni 2016.
Selain masalah perbedaan perhitungan harga, Sahala mengemukakan, jika menggunakan perhitungan Dispenda Sumut, maka per tahun beban pajak APU perusahaan mencapai Rp521 miliar atau US$40,1 juta.
"Kenaikan beban ini menjadi tambahan biaya tetap bagi kami. Ini juga akan menaikkan harga pokok produksi dan kami berpotensi mengalami kerugian terutama pada saat harga jual alumunium dunia turun. Ambil contoh, dari keuntungan kami pada 2015 US$80 juta, lebih dari 50% harus kami bayarkan kepada pemprov. Bagaimana kami bisa berkembang? Justru Inalum dijadikan BUMN untuk mengembangkan industri aluminium nasional."
Pada kesempatan yang sama Kepala Bidang APU Dispenda Sumut Rita Mustika menyebutkan, selama ini memang Inalum tak bermasalah untuk pembayaran pajak golongan APU non industri dan untuk PLN.
Kendati demikian, penggunaan APU untuk pembangkit listrik kepentingan sendiri tak bisa dihitung sama dengan tarif untuk PLN yakni Rp75/Kwh, sehingga menggunakan tarif kubikasi Rp150/m3. Hal ini tercantum dalam Pergub No.24/2011 pasal 9 ayat 3. Selain itu, perhitungan Dispenda Sumut juga mengacu pada Perda No.1/2011 tentang Pajak Daerah Sumut.
"Inalum itu harus membayar untuk golongan industri bukan PLN. Seharusnya Inalum membayar pajak APU Rp41 miliar hingga Rp43 miliar per bulan, tapi yang disetor hanya Rp2 miliar per bulan dari perhitungan tarif APU untuk pembangkit PLN. Inalum juga pernah mengajukan judicial review untuk pasal 9 ayat 3 tersebut ke Mahkamah Agung, dan pada 22 Maret 2016 hasilnya permohonan tidak dapat diterima," papar Rita.
Ketua Komisi C Zeira Salim menuturkan, apapun keputusan pengadilan pajak, baik Inalum maupun Pemprov Sumut harus menerima dan melaksanakannya.
"Saat ini memang Sumut membutuhkan tambahan pajak daerah, terutama dari APU. APBD Sumut defisit untuk pembangunan. Pajak kendaraan bermotor yang selama ini menjadi ujung tombak sudah mulai tak bisa diandalkan," pungkasnya.