Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH) Rony Bako meminta agar permasalahan pajak air permukaan (PAP) PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) dengan Pemerintah Sumatra Utara tidak dibiarkan terus terjadi. Perlu ada solusi untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan tersebut.
“Jadi jangan dibuat berlarut-larut seperti itu,” katanya, Rabu (30/3/2016).
Kisruh masalah PAP antara Inalum dengan Pemprov Sumut bermula dari perbedaan pandangan mengenai tafsiratas Pasal 9 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009. Dalam pasal itu disebutkan bahwakhusus penetapan harga dasar untuk pemakaian dan/atau pemanfaatan oleh pembangkit listrik sebesar Rp75,-/Kwh.
Dari UU itu berarti, jika PT Inalum dikategorikan sebagai subjek pajak untuk pemakaian dan/atau pemanfaatan Air Permukaan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) Pergubsu (sebagai pembangkit listrik), maka harga dasar Air Permukaan adalah sebesar Rp75/Kwh yang berarti dihitung dari Kwh yang dihasilkan dan bukan berdasarkan kubikasi air mengalir untuk golongan industri K-I.
Menghadapi permasalahan PAP tersebut, Inalum telah mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak dan juga Judicial Review atas Pergubsu tersebut kepada Mahkamah Agung.
Hal ini dilakukan semata-mata untuk mendapatkan perlakuan tarif yang wajar dan juga dapat mendorong pembangunan proyek pengembangan Inalum sesuai amanah Pemegang Saham. Inalum meyakini bahwa apapun yang diputuskan dan ditetapkan baik oleh Pengadilan Pajak maupun Mahkamah Agung merupakan kemenangan dari masyarakat Sumatra Utara khususnya dan wujud komitmen dari Pemerintah dalam menggairahkan dunia bisnis pada umumnya.
Rony menjelaskan bahwa Pemprov Sumut sebenarnya tidak bisa semaunya sendiri dan ngotot ingin menarik pajak yang sangat tinggi terhadap Inalum. Pemprov Sumut tetap harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat terlebih dahulu.
Hal ini pun, jelas dia, juga bisa dilakukan Inalum. Langkahnya, perusahaan pelat merah tersebut mengajukan keputusan menteri keuangan (KMK) untuk mengakhiri persoalan tersebut.
“Inalum bisa minta KMK. Ini saya lihat perlu keterlibatan pemerintah pusat,” jelasnya.
Bahkan melihat kondisi tersebut, Rony setuju jika PT Inalum merasa dirugikan oleh kebijakan yang dikeluarkan Pemprov Sumut, bisa diselesaikan melalui jalur pengadilan, yakni dengan mengajukan yudicial review kepada MA.
Sebelumnya Guru Besar Hukum Ekonomi Universitas Sumatra Utara Bismar Nasution menanggapi Peraturan Gubernur Sumatra Utara terkait PAP Inalum. Menurutnya, logika berpikir dari munculnya Pergub Sumatra Utara tidak menimbulkan keadilan bagi subjek pajak PT Inalum (Persero).
Sebab, karakteristik usahanya yang secara skala ekonomi harus menggunakan PLTA. Tafsir aturan yang demikian tidak memberikan insentif bagi dunia usaha PT Inalum (Persero) yang sudah berinvestasi sangat besar dalam membangun PLTA.
Menurutnya, apabila Pasal 9 ayat (3) tidak dapat diberlakukan terhadap PT Inalum (Persero) karena originalintens Pasal tersebut ditujukan untuk PLN (Persero), maka semestinya bagi PT Inalum (Persero) tetap berlaku prinsip perhitungan berdasarkan Rp/ Kwh bukan berdasarkan air yang mengalir.
Hal ini dikarenakan essensi mendasar dari Pasal 9 ayat (3) Pegubsu tersebut adalah perlakuan khusus harga dasar bagi PLN (Persero), dan perhitungan harga untuk pembangkit listrik adalah berdasarkan Rp/ kwh bukan berdasarkan kubikasi air yang mengalir.
“Meskipun Pasal 9 ayat (3) mengenai tarif Rp 75/ KwH tidak bisa diberlakukan untuk PT Inalum (Persero) tetapi dasar perhitungan berdasarkan Rp / Kwh semestinya tetap diberlakukan bagi PT Inalum (Persero) karena karakteristik kegiatan usahanya sama yakni pembangkit listrik yang dihitung berdasarkan Rp /KwH bukan berdasarkan kubikasi air mengalir bukan pemakaian air,” jelasnya.
“Demikian pula dalam sejumlah Pergub di berbagai provinsi yang mengatur Pajak Air Permukaan, secara umum menggunak anacuan Rp / Kwh untuk pembangkit listrik PLN maupun non-PLN dan bukan menggunakan kubikasi air mengalir.”
Disamping itu, tidak semua provinsi mengatur ketentuan yang sama seperti pada Pasal 9 ayat (3) Pergubsu tersebut, misalnya Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 41 Tahun 2012 tentang Nilai Perolehan Air Permukaan untuk Menghitung Pajak Air Permukaan. Pada Lampiran Pergub Jawa Timur tersebut ditetapkan untuk Pembangkit Listrik sebesar Rp100,-/KwH tanpa membedakan PLN atau non-PLN.
Oleh karenanya kata dia, Peraturan Gubernur Provinsi Sumatra Utara tersebut akan menimbulkan peningkatan biaya produksi yang signifikan bagi PT Inalum (Persero).