Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KASUS KARHUTLA: Anak Usaha Sampoerna Group Ini Bantah Bakar Lahan

PT National Sago Prima meminta majelis hakim mengagendakan sidang lokasi ke tempat kejadian perkara kebakaran hutan di Kepulauan Meranti, Riau.
Kebakaran hutan di Riau/Ilustrasi
Kebakaran hutan di Riau/Ilustrasi

Kabar24.com, JAKARTA - PT National Sago Prima meminta majelis hakim mengagendakan sidang lokasi ke tempat kejadian perkara kebakaran hutan di Kepulauan Meranti, Riau.

Langkah ini dilakukan untuk membuktikan bahwa anak perusahaan dari Sampoerna Agro Group ini tidak melakukan sesuatu yang melanggar hukum, seperti yang dituduhkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kuasa Hukum PT National Sago Prima (NSP), Rofiq Sungkar dari kantor hukum Lubis Ganie Surowidjojo mengatakan pihaknya telah mengajukan agenda sidang lokasi ke majelis hakim. Dia mengklaim pengajuannya tersebut telah disetujui oleh majelis..

“Kami sedang dalam proses mengumpulkan berkas dan syarat-syarat administrasi untuk digelarnya sidang lokasi ke Riau,” katanya kepada Bisnis, Selasa (15/3/2016).

Nantinya, berkas administrasi yang telah terkumpul akan diajukan ke dewan mahkamah agung, dengan tembusan pengadilan tinggi.

Menurut Rofiq, sidang lokasi yang langsung dihadiri oleh majelis hakim ini bertujuan untuk melihat kondisi bekas kebakaran hutan sagu di lahan produktif milik PT NSP. Sidang lokasi, lanjut dia, akan membuktikan apakah ada kerugian yang ditimbulkan seperti yang telah ditudingkan kepada perseroan selama ini.

Dia menekankan kliennya sebagai tergugat membantah telah sengaja membakar lahan produktif sebagai aksi land clearing. Baginya, pembakaran lahan produktif itu merupakan hal bodoh untuk dilakukan.

Pasalnya, dari kebakaran tersebut kliennya mengalami kerugian karena sagu siap panen milik perusahaan ludes terbakar.

“Klien kami sudah rugi, masih dituntut bayar gani rugi. Ganti rugi apa?” katanya sembari menolak menyebutkan berapa total kerugian yang diderita oleh tergugat. Dia menjelaskan potennsi pendapatan dari panen sagu berkurang drastis.

Pihaknya mengungkapkan kebakaran terjadi bukan disebabkan oleh kesengajaan perusahaan tetapi karena faktor lain seperti teriknya cuaca maupun oleh puntung rokok. Pihak perusahaan juga sudah berupaya memadamkan api dengan alat sederhana, hingga menyewa helikopter pengangkut air.

Sembari memersiapkan berkas pengajuan sidang lokasi, PT NSP tengah mempersiapkan saksi ahli dan saksi fakta untuk sidang selanjutnya yang akan digelar pada akhir Maret 2016. Adapun sidang tersebut beragendakan pembacaan saksi oleh pihak tergugat.

Selama ini, sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan perkara No. 591/Pdt.G/2015/PN.JKT.SEL ini masih dalam agenda pemaparan saksi dari pihak penggugat. “Sidang akhir maret nanti, kami menghadirkan saksi ahli yang terdiri dari beberapa akedemisi,” tuturnya.

Hal ini juga bertujuan untuk menjawab apa yang selama ini dituduhkan oleh Koalisi Anti Mafia Hutan.

Koalisi Anti Mafia Hutan mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memaksimalkan upaya untuk membuktikan kesalahan tergugat. Koalisi tersebut menilai PT NSP telah melakukan kejahatan pembakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan sekitar dan terganggunya kesehatan masyarakat setempat.

Dalam sebuah rilis, salah satu aktivis koalisi Andi Muttaqien mengungkapkan apa yang dilakukan oleh PT NSP sebagai tergugat harus ditindak tegas. “Itu tindak kejahatan yang secara nyata merusak lingkungan,” tegasnya.

Kementerian KLH melansir, lahan PT NSP diduga terbakar pada kurun 30 Januari 2014 hingga Maret 2014. Luas petak lahan perusahaan yang terbakar terdiri dari lahan produktif 2.000 ha dan kawasan produktif 1.000 ha.

Pemerintah meniai tergugat lalai dalam mengantisipasi kebakaran lahan sehingga menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. PT NSP yang bergerak di sektor agribisnis sagu ini juga diklaim telah beroperasi tanpa adanya izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Dalam petitumnya, Kementerian LHK meminta tergugat membayar ganti rugi kerusakan ekologis dan hilangnya keuntungan ekonomis sebesar Rp319,16 miliar. Adapun, pemerintah juga menuntut tergugat melakukan pemulihan lingkungan terhadap hutan yang telah terbakar senilai Rp753,74 miliar. Sehingga, total tuntutan sebesar Rp1,07 triliun.

Perseroan terancam kehilangan hak hukumnya untuk menjalankan kegiatan operasional jika seluruh gugatan pemerintah dikabulkan. PT NSP berisiko melakukan tindakan cidera janji terhadap seluruh perjanjian yang telah disepakati dengan pihak lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper