Kabar24.com, JAKARTA − Pemerintah secara resmi menyatakan akan merevisi Undang-Undang No. 15/2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Hal tersebut dipastikan seusai diadakan pertemuan antara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, Kepala Badan Penanggulangan Terorisme Saud Usman Nasution, Kepala Badan Intelijen Negara Sutyoso dan Kepala Divisi Humas Kepolisian Republik Indonesia Anton Charliyan, Jumat (24/1/2016).
Namun, menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar, pemerintah sebaiknya meninjau kualitas dan kedisiplinan para penegak hukum terkait kerja pemberantasan tindak pidana terorisme. Sebab, undang-undang yang ada saat ini saja sudah dapat melakukan pencegahan terorisme.
“Di UU yang sekarang sudah lengkap semua aturan. Bahkan niat melakukan tindakan terorisme bisa diadili asal bisa dibuktikan,” ujar Haris kepada Bisnis, Minggu (24/1/2016).
Azhar melihat revisi UU Terorisme hanya sebagai bentuk frustrasi negara dalam menghadapi terorisme. Kuncinya pemerintah harus lebih disiplin dari teroris, karena teroris sangat disiplin dalam merencanakan dan pelaksanaan aksinya.
Azhar menambahkah ada hal yang dia takutkan apabila ada kewenangan tambahan yang diberikan kepada penegak hukum melalui revisi UU Terorisme.
Bisa saja ada hal baru yang ditimbulkan, yakni digunakan untuk menyerang musuh-musuh negara yang dianggap berbahaya oleh penguasa. Itu sudah terjadi di banyak negara, seperti Bangladesh, Tunisia, dan Aljazair.
Sementara itu Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan dengan adanya revisi UU tentang terorisme akan memperkuat penegak hukum dalam pemberantasan terorisme.
Setelah UU Terorisme direvisi, gerakan yang mengarah ke terorisme sudah dapat diproses hukum. Seperti pelatihan militer, perekrutan, dan pengiriman orang ke luar negeri yang mengarah ke tindakan terorisme.
Menko Polhukam sudah mendesak draf revisi UU terorisme dapat segera diselesaikan agar dapat diserahkan ke DPR. Revisi tersebut dianggap mendesak pasca penyerangan diduga teroris di kawasan Sarinah, Kamis (14/1/2016). “Kalau tunggu akibatnya timbul dulu, kita ketinggalan,” jelas Prasetyo, Jumat (22/1).
Adapun untuk menyusun revisi UU Terorisme, pemerintah membentuk tim lintas lembaga. Tim tersebut terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia, Kepolisian Republik Indonesia, serta Kejaksaan Agung.